Nasional

Dari Kultur Pesantren, Serat Wedhatama Lawan Campur Tangan Kolonial

Sabtu, 10 Juni 2017 | 15:31 WIB

Jakarta, NU Online 
Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Yogyakarta KH M. Jadul Maula mengatakan, Serat Wedhatama berisi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah utama dalam tasawuf Jawa, kesinambungan dan kesatuan syariat, tarekat, hakekat dan makrifat. Dalam Serat Wedhatama, hal itu disebut dengan Sembah Raga, Kalbu, Jiwa, dan Rasa.

Tujuan dari laku tasawuf itu, lanjut Jadul menurut penulis serat tersebut adalah melahirkan pribadi yang bisa membangun relasi-ralasi yang harmonis dengan sesama. Untuk membangun perilaku harmonis dengan sesama, menurut serat itu adalah menjalankan praktik atau laku kesinambungan dari catur sembah empat ibadah tersebut.

“Penulis serat tersebut adalah Kanjeng Adipati Aryo Mangkunegoro IV. Namun ada versi lain yang menyebutkan bahwa penulisnya adalah Ronggowarsito. Meski demikian, pada umumnya disepakati Mangkunegoro IV sebagai penulisnya,” ungkapnya ketika dihubungi NU Online dari Jakarta. Jadul adalah salah seorang pembahas pada bedah serat itu yang diselenggarakan Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Yogyakarta, Selasa malam (6/6). 

Menurut dia, Serat Wedhatama masih menjadi acuan dari pengembangan budaya (Islam) Jawi. Tapi ada banyak perspektif yang tidak tepat di mana serat itu dianggap sebagai pegangan kaum abangan yang dibedakan atau dipertentangkan dengan kaum santri. 

“Perspektif ini tidak tepat. Wedhatama jelas sekali lahir dari kultur pesantren,” tegasnya. 

Lebih lanjut ia mengatakan, serat tersebut berisi 100 bait tembang terbagi dalam 5 pupuh (Pangkur, Sinom, Pucung, Gambuh dan Kinanti). Isinya bisa dikatakan merangkum kitab Ihya' Ulumuddin nya Imam Ghazali.

Adapun konteks penciptaan serat itu adalah ketika kolonialisme Belanda telah memasuki ruang pengetahuan Jawa dan bermaksud turut campur membelokkan ajaran Jawa untuk kepentingan kolonial. Dengan serat tersebut, penulisnya melawan agar ilmu tidak mati dan supaya budaya tidak rusak.

“Yg menarik dalam serat itu juga ada disebutkan gejala waktu itu, orang-orang yang hanyak berhenti pada syariat saja dan ribut bertengkar soal fiqh an sich. Ini dikritik. Mirip gejala kontemporer kita dewasa ini ketika shalat dijadikan komoditas dan pamrih politk. (Abdullah Alawi)


Terkait