Jakarta, NU Online
Akhir pekan mestinya menjadi ajang menjemput bahagia dengan berkumpul bersama keluarga. Namun, yang tiba kepada keluarga Petty justru nestapa.
Gempa kembali mengguncang tanah tempat tinggalnya di Prempung, Kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Ahad (5/8). Bahkan dengan kekuatan yang lebih besar dari gempa sebelumnya pada Ahad (29/7), yakni 7 Skala Richter.
Petty pun langsung keluar rumahnya. Mengingat sedang sendiri di dalamnya, ia pun lari sendirian.
Belum hilang lelah dari penyelamatan diri itu, ia mesti lari lagi setelah mendengar peringatan dini tentang prediksi naiknya air laut.
"Air. Air. Air mau naik," ceritanya menirukan peringatan itu kepada relawan Pengurus Pusat Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) pada Jumat (11/8).
Nalar mengarahkannya naik ke gunung. Sebab, tingginya air laut, pikirnya, tidak akan menjangkau tingginya gunung. Ia dan warga lainnya pun bergerak ke sana.
Jam 11 malam, katanya, warga baru dipersilakan turun oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Hal itu sebab kenaikan air laut yang diperkirakan naik itu tidak terjadi.
"Saya tidur di sawah. Gelar tikar seadanya saja," ujarnya.
Penyelamatan diri itu juga dilakukan oleh Raditia, seorang bocah kecil yang merasa ketakutan dengan goncangan itu.
Petty dan masyarakat di sana harus merasakan dinginnya angin malam. Bayi yang baru berusia enam hari dan tiga bulan juga harus merasakan hal yang sama.
"Udah gitu, tiap berapa menit, ada gempa lagi, gempa lagi. Ya Allah," tuturnya.
Penderitaan korban gempa itu diperparah dengan maraknya pencurian kendaraan dan hewan ternak. Selain itu, air bersih juga menjadi kendala mereka hingga saat ini. (Syakir NF/Kendi Setiawan)