Pada Idul Fitri 1435 H kemarin, ketika saya mudik ke kampung halaman saya di Pamekasan Madura. Kebetulan di rumah saya ada teman lama ibu saya yang sampai sekarang masih menjalin hubungan persahabatan dengan sangat baik. Ia adalah teman selama masih mondok di pesantren dahulu. <>Salah satu perekat jalinan persahabatan itu adalah karena Ibu saya dan temannya sama-sama sebagai aktivis Muslimat NU Kabupaten Pamekasan. Nama seorang sahabat itu adalah Ummi Kultsum.
Dalam pandangan saya pribadi, Ummi Kultsum adalah seorang aktivis Muslimat NU sejati dan militan. Karena saya melihat dan mengamati sendiri kegiatan-kegiatan beliau sedari dahulu awal tahun 1990-an. Ia adalah seorang da’iyah Muslimat yang aktif di kampug halamannya. Jadwal ceramahnya padat baik di desa maupun di kota. Tentunya karena hal ini didukung dan diijinkan sang suami. Di samping itu, ceramah-ceramahnya juga menarik hati yang mendengarnya.
Ia juga aktif berdakwah di kecamatan kami yang NU-nya termasuk paling sediit dari pada wilayah Madura lainnya. Setiap malam minggu beliau mengisi pengajian di desa saya. Tanpa upah apa-apa. Meskipun harus menempuh jarak 22 kilometer jauhnya dari rumahnya ke rumah saya. Sabtu siang dia datang dan menumpang istirahat di rumah kami. Malamnya dia bersama ibu saya sudah berceramah di rumah warga yang letaknya di pelosok desa. Baru pagi harinya ia pulang dengan diantar keluarga saya sampai terminal.
Saya teringat bahwa ia berceramah mengenai program KB yang diprogramkan pemerintah orde baru waktu itu. Dia menunjukkan ke-NU-annya dengan sifatnya yang Moderat, Tawasshut.
“Boleh punya anak banyak tapi harus berkualitas. Kalau kiranya tidak mampu mengangkat kualitas anak ya, 2 saja cukup. Nabi Muhammad senang jika di akhirat nanti ummatnya banyak. Ini menunjukkan bahwa Nabi menginginkan kita kalau punya anak harus yang berkualitas.” Katanya pada sekitar 1990-an.
Karena sepak terjangnya, ia menjadi termasyhur di desa kami. Banyak orang yang suka akan ceramah-ceramahnya yang santun dan menyejukkan. Merekapun dengan ikhlas menghadiri pengajian Ibu Nyai yang gurunya dulu adalah koraban PKI ini. Meskipun hanya dengan tempat dan suguhan yang sedanya. Jamaahnya aktif dan kegiatannya banyak.
Demikianlah, bertahun-tahun ibu nyai ini melakukan kegiatannya di desa kami yang jaraknya cukup jauh itu. Mulai saya masih kecil (kira-kira kelas 1 SD) dan bahkan sampai saat ini, di mana kondisinya saya lihat sudah semakin sepuh. Atas nama muslimat, atas nama NU dengan niat Li I’laai kalimatillahi allati hiya Al-Ulya waliridlaa’illahi ta’ala.
***
Yang lebih menarik lagi adalah percakapan di antara kami, yakni antara saya dengan ibu Nyai Ummi Kalsum itu, pada waktu kami bertemu saat mudik hari raya yang lalu. Dia bercerita banyak hal kepada saya. Dan dari perbincangan itu barulah saya tahu bahwasanya ia sering diajak menghadiri acara atau kegiatan sebuah organisasi Transnasional. HTI namanya. Saya memang sudah mendengar hal ini sudah agak lama dari ibu saya. Namun, baru kali ini saya mendengarnya dari beliau langsung. Kabarnya, kehadiran beliau ini karena menantunya yang juga aktivis HTI Kabupaten Pamekasan.
Sewaktu hanya mendengar kabar burung dari cerita ke cerita, saya agak kaget bahkan merasa sangat sedih. Bahkan saya sempat ingin menyurati Ibu Nyai Kalsum ini.
Namun, setelah bertemu sendiri saya menjadi bisa langsung klarifikasi. Saya menanyakan, apakah benar berita yang saya dengar itu?, dan dirinyapun mengakui dan tidak mengelak. Ia bilang bahwasanya dirinya memang sering diajak dan seirng mengikuti acara HTI. Dirinya sering dipaksa untuk ikut kegiatan organisasi itu. Dia pun mau demi silaturrahmi. Terkadang ia dipaksa untuk menandatangani supaya jamaahnya diikutkan pada acara Muktamar HTI. Ia pun juga mau.
Akan tetapi, apakah itu berarti ia setuju? Ternyata tidak. Ibu Ummi Kultsum memang seorang pendakwah yang jujur dan bisa dikatakan juga lugu. Ia mengatakan bahwasanya ia tidak pernah mengerti maksud HTI dan apa sebenarnya paham dan tujuan pergerakannya.
“Saya sering diajak oleh mereka untuk mengikuti kegiatan mereka dalam diskusi-diskusi. Saya katakan kepada mereka, iya saya mau. Saya ingin mencari ilmu tidak ada tujuan lain. Akan tetapi sampai sekarang saya masih tetap bingung,” katanya kepada saya.
Saya tidak mengerti konsep-konsep mereka. Terlalu rumit dan sulit dipahami masyarakat awam. Setiap kali saya diajak, saya bilang mari, saya ingin mencari ilmu. Tapi masalahnya, saya sulit mengerti maksud mereka. Khilafah-khilafah apa maksudnya?” tambahnya.
“Saya menjadi lelah karena mereka memaksa terus. Mengapa saya harus mengikuti sesuatu yang saya tidak bisa pahami. Saya putuskan untuk berhenti. Saya bilang saya ingin ikut NU saja yang lebih jelas tujuannnya. Mengikuti para kiai yang jumlahnya lebih banyak,” tambahnya lagi.
Kemudian ia mengungkapkan kepada kami bahwasanya, kegiatan-kegiatan Hizbut tahrir di Kabupaten Pamekasan, bahkan mungkin dalam skala nasional, selalu meminta bantuan Muslimat NU.
“Saya pikir tanpa bantuan Muslimat, kegiatan-kegiatan mereka tidak akan sukses. Karena kelompok mereka sendiri sangat sedikit. Ah, tidak ada seberapanya dengan Muslimat. Tapi saya merasa berodosa besar kepada jamaah saya karena membawa meraka dalam kebingungan,” tandasnya.
Ibu Nyai Kalsum juga menceritakan bahwasanya menantunya sendiri telah bosan dan menurun aktivitasnya di Hizbut Tahrir setelah mendapatkan penjelasan beliau dari hati ke hati.
“Al-Hamdulillah anak dan menantu saya sudah menurun semangatnya setelah saya jelaskan kepada mereka,” katanya kepada kami.
Setekah kami dimintai pendapat, lalu kami jelaskan bagaimana pandangan HTI dan NU terhadap Islam. Dan bagaimana kita harus memandang Indonesia di satu sisi dan persatuan Islam di sisi lain. Serta alasan-alasan mengapa NU menyatakan harus setia kepada Bangsa Indonesia.
Menjadi bertambahlah kepahaman mereka akan NU dan pandangan-pandangannya terhadap Indonesia. Dan demikianlah, kesetiaan mereka telah kembali kepada NU. Wa qul jaa’al haqqu wazahaqal bathilu innal bathila kana zahuqaa. Tujuan baik tidak mungkin berasil jika caranya curang atau salah.
Ahmad Nur Kholis, Malang, Jawa Timur