Semarang, NU Online
Bandha (aset) wakaf yang dimiliki masjid perlu dikelola agar produktif. Pengelolaan tersebut maksudnya diupayakan supay menghasilkan uang yang bisa dipergunakan untuk kemakmuran masjid dan umat di sekitarnya.
<>
Para nazhir masjid perlu mengupayakan hal tersebut agar masjid tidak sekadar menjadi tempat ibadah sholat saja. Tidak sebatas fungsi sebagai takmir yang memakmurkan masjid dengan kegiatan keagamaan saja.
Demikian disampaikan Ketua Lajnah Ta'lif wan-Nasyr PWNU Jateng Dr H Muhyar Fanani MAg saat memberikan pembekalan kepada para nazhir masjid utusan kabupaten/kota se-Jateng dalam Workshop Workshop "Optimalisasi Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Produktif Angkatan II yang diselenggarakan Bidang Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Tengah, di Hotel Muria, Semarang, Selasa, (4/11/2014).
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo ini menyatakan, mayoritas aset masjid, baik berupa tanah maupun bangunan, tidak dikelola secara produktif alias dibiarkan saja sebagai harta tak bergerak. Dia mengutip data Kemenag RI, di tahun 2008 ada tanah wakaf masjid seluas 1,6 milyar meter persegi, dan menjadi 3,49 milyar meter persegi pada 2012. Aset seluas itu, hanya 34 persen yang telah dikelola secara produktif.
Apabila dirupiahkan, 3,49 miliar meter persegi yang berada di 420.003 titik itu dengan asumsi harga tanah hanya Rp100 ribu per meter persegi, nilainya mencapai Rp 349 triliun.
"Inilah sebabnya kita perlu mengajak seluruh nazhir masjid berpikir soal bisnis dan ekonomi," tuturnya.
Ia tambahkan, wakaf selain tanah juga bisa digali dari umat Islam. Yaitu wakaf uang yang saat ini sudah ditampung dalam Tabungan Wakaf Indonesia (TWI) dan wakaf berupa saham (surat berharga). Potensi dari wakaf non tanah ini, menurutnya, mencapai Rp 4 triliun per tahun.
Disebutkannya, kelemahan umum umat Islam adalah kurangnya ilmu manajemen dan kurangnya profesioanlitas dalam urusan dunia. Rata-rata takmir atau nazhir masjid adalah orang-orang berjiwa ikhlas yang pikirannya hanya dipenuhi soal pahala dan sorga, tentang kehidupan akhirat. Kalaupun memproduktifkan bandha masjid, sekedar membuka toko atau menyewakan tanah, sambil berharap usaha itu berkembang. Tanpa manajemen yang profesional.
"Yang dibutuhkan adalah ilmu manajemen. Jadi harus profesional jika ingin produktif. Tidak asal-asalan," ujarnya.
Perlu Kemitraan
Muhyar menyadari, tidak realistik apabila mendorong para nazhir masjid melakukan usaha itu sendirian. Yang paling mungkin adalah mendorong mereka bermitra dengan pebisnis, atau merekrut orang yang ahli bisnis menjadi pengelola wakaf masjid. Dan dalam kemitraan itu memakai asas bisnis profesional. Yakni dengan perjanjian yang jelas, dengan aturan hak dan kewajiban yang rinci dan terukur.
"Nazhir perlu bermitra dengan pebisnis yang terpercaya. Karena tidak realistis jika kita mendorong nazhir mengelola usaha sendiri. Kecuali memang mereka yang punya keahlian itu," tandasnya.
Hal itu menurutnya, sesuai dengan UU nomor 41 tahun 2004 tentang Perwakafan. Terlebih, lanjutnya, UU ini juga mengatur tentang perlunya memberi tunjangan kesejahteraan kepada nazhir masjid.
Ia jelaskan, ciri-ciri sebuah wakaf telah produktif adalah apabila memenuhi tiga hal. Yaitu semua pembiayaan dilakukan dalam bingkai proyek, kesejahteraan nazhir diperhatikan, dan asas akuntabilitas dan transparansi dipraktekkan.
Karena itu, kata dia, nazhir masjid haruslah orang yang kreatif, tekun dan cakap. Ini sebagai syarat tambahan selain keimanan dan akhlaknya. Dan untuk itu, memang harus mendorong perubahan cara kerja nadzhir. Jika selama ini 92 persen menjadi nazhir sebagai sambilan, diubah menjadi nazhir penuh dan terlembagakan. Tidak perorangan.
Muhyar menyayangkan acara tersebut tidak menghadirkan pemateri dari praktisi bisnis atau motivator. Dia mengritik pihak Kemenag masih berpikir seperti umumnya takmir masjid. Membahas tentang perekonomian, tetapi yang dihadirkan ulama semua. Ahli fiqih dan ahli ibadah semua.
"Mestinya workhsop ini menghadirkan pembicara dari praktisi bisnis dan motivator. Semisal Tung Desem Waringin, Andrie Wongso dan semacamnya. Padahal ini sudah angkatan ke-2. Mestinya pembicaranya jangan ahli agama semua," pungkas dia.
Dalam jadwal workshop tersebut, tertera para pembicara selain Muhyar Fanani adalah H. Ahmad Furqon Lc MAg, Dr H Ayoeb Amin MAg, Ahmad Arif Budiman MAg, dan Prof. Dr. HM Ali Mansyur Mhum. Sedangkan para moderator, seluruhnya adalah para pegarai Kanwil Kemenag Jateng. [ichwan/Abdullah]