KH Muhammad Sholeh Darat bin Umar As-Samarani atau Mbah Sholeh Darat yang hidup pada masa penjajahan Belanda mengalami berbagai tantangan dalam menyebarkan Islam. Di sisi lain, umat pada waktu itu membutuhkan pengetahuan agama yang memadai. Belanda mengekang proses kreatifnya, termasuk dengan melarang penerjemahan Al-Qur'an.
Demikian disampaikan KH Imam Taufiq, Wakil Katib PWNU Jawa Tengah, dalam diskusi corak tafsir-tafsir KH Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani yang digelar Komunitas Pecinta Mbah Sholeh Darat (Kopisoda) di Masjid Kauman Semarang, Ahad (17/4). Kitab karya Mbah Sholeh Darat yang dikaji adalah Hidayaturrahman, ringkasan dari kitab Faidlur Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malikil-Dayyan.
Menurutnya, Mbah Soleh Darat akhirnya menerbitkan tafsir Al-Qur’an bernuansa lokal setelah mendapat desakan RA Kartini dalam pengajian di rumah Bupati Demak Ario Hadiningrat.
Imam Taufiq berpendapat, kitab Faidlur Rahman termasuk kategori tarjamah tafsir. Artinya, Mbah Sholeh Darat tak hanya menerjemahkan per kata tapi juga menafsirkannya. Hal ini untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat awam karena penguasaan bahasa Arab yang terbatas. Selain itu, ia menggunakan tulisan Arab Pegon untuk mengelabui penjajah atas penerbitan kitab ini.
Mbah Sholeh juga menggunakan penafsiran isyari. Menurut Imam Taufiq, dengan corak tafsir ini Mbah Sholeh mampu memberikan sentuhan isyarat-isyarat yang kuat untuk mengkritik penjajah.
Tafsir isyari terlihat, misalnya, dalam saat ia menerjemahkan Surat al-Baqarah ayat 173 yang menerangkan tentang keharaman (mengonsumsi) bangkai, darah, daging babi, dan sesembelihan bukan atas nama Allah. Bagi Mbah Sholeh Darat, bangkai bermakna harta, babi berarti hawa nafsu, darah yakni syahwat, dan sesembelihan selain atas nama Allah memiliki maksud amalan tidak ikhlas karena Allah. Tafsir seperti inilah yang dikembangkan oleh Mbah Sholeh untuk memberikan pengertian pada masyarakat.
"Bila kita kontekstualisasikan al-Baqarah: 173 dalam membangun masyarakat yang santun dan damai dengan penafsiran isyari yang menjadi analisa Mbah Sholeh, ayat tersebut mengajak umat Islam menjadi insan yang unggul dengan mampu menjaga hati, mengelola nafsu, shahwat, dan menjaga diri dari konsumsi makanan yang tak halal dan tak bersih," tegas dosen tafsir UIN Walisongo ini.
Imam Taufiq mengatakan, tidak menutup kemungkinan masih ada lanjutan dari Faidlur Rahman yang hanya enam juz ini, karena banyak naskah-naskah ulama Nusantara yang dibawa ke Belanda.
Dalam pengajian rutin tersebut, sebelumnya Kopisoda mengawali ngaji kitab tafsir dan fiqih dengan kitab Majmu'atus Syari'at al-Kafiyah lil ’Awam) dengan narasumber KH In'amuzzahidin (koordinator Kopisoda). Tampak hadir keluarga dari Mbah Sholeh H Anashom (ketua PCNU Semarang), M. Rikza Chamami (MUI kota Semarang), dan pecinta kajian Mbah Sholeh Darat. (Mukhamad Zulfa/Mahbib)