Nasional

Awal Mula Penyair D Zawawi Imron Mendalami Puisi

Jumat, 8 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Awal Mula Penyair D Zawawi Imron Mendalami Puisi

Tangkapan layar video penyair D Zawawi Imron dalam wawancara yang ditayangkan Youtube NU Online.

Jakarta, NU Online

Kiai dan penyair senior asal Pulau Madura, Jawa Timur, D Zawawi Imron mengisahkan perjalanan awalnya dalam dunia kepenulisan puisi yang dimulai dari lingkungan pesantren tradisional tanpa fasilitas pendidikan formal.


Saat muda, ia belajar di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Sumenep, sebuah pesantren yang kala itu bahkan belum memiliki madrasah.


“Saya ini kan belajar di pesantren tradisional yang tidak ada sekolahnya. Jadi kami hanya ngaji kitab-kitab tradisional, katakanlah (salah satunya) Sulam Safinah,” tuturnya dalam wawancara yang ditayangkan di akun Youtube NU Online.


Namun di tengah keterbatasan tersebut, benih kreativitas mulai tumbuh.


“Kebetulan di pondok saat itu ada kegiatan membuat syiir-syiir dalam bahasa Madura. Sebagian santri kiai, putra kiai, lora itu membuat syair. Saya kok tertarik juga untuk membuat puisi dalam bentuk syiir itu,” tuturnya.


Sayangnya, syair Kiai Zawawi muda dalam bahasa Madura kala itu belum terlalu berhasil.


“Setelah diperlihatkan kepada ustadz, kepada pintere yang keponakan kiai itu katanya jelek,” ungkapnya.


Karena tanggapan itu, Kiai Zawawi menyadari bahwa karya syair berbahasa Madura yang ia tulis belum terlalu menonjol. Ia mengaku frustrasi hingga tidak lagi menulis puisi dalam bahasa Madura.


“Pelan-pelan mencoba menulis puisi dalam bahasa Indonesia. Ya, akhirnya lama-lama punya kesenangan sendirilah menulis puisi dalam bahasa Indonesia,” kata tokoh yang dikenal sebagai Penyair Celurit Emas.


Keuntungan menulis syair berbahasa Indonesia, kala itu, itu tidak ada ustadz yang bisa menyalahkan karyanya.


"Karena di pondok kan tidak ada bahasa Indonesia,” selorohnya.


Dia mengatakan di pondok tersebut tidak lama, hanya sekitar 1,5 tahun. Begitu pamit dari belajar di pondok pesantren, Kiai Zawawi muda lalu mengajar di sebuah madrasah yang baru berdiri yang dipimpin oleh Kiai Sahnawi.


“Saya mengajar kelas 1 dan kelas 2 karena pengetahuan saya kalau hanya tamat SD kan tidak bisa mengajar kelas-kelas yang tinggi walaupun di Ibtidaiyah,” tuturnya.


Ketika surah mulai menulis syair dalam bahasa Indonesia, beberapa waktu kemudian karya-karyanya semakin dikenal publik. Bahkan tidak hanya di Madura dan Jawa Timur, tapi seluruh Indonesia mulai mengenalnya. Uniknya, Kiai Zawawi mengaku tidak ada tokoh atau penyair di Madura saat itu yang menjadi titik tolaknya dalam berkarya.


“Saya kira tidak ada kan tidak ada penyair kan di pesantren yang ada menulis syiir-syiir biasa itu dan mereka tidak spesialis menjadi penyair. Mereka hanya mengisi kekosongan (waktu) kemudian membikinlah (syair-syair),” lanjut Kiai Zawawi.


“Jadi tidak ada teladan, tidak ada guru yang bisa memandu saya menulis yang bagus gitu. Jadi saya menulis itu apa adanya. Katakanlah ngawur gitu loh karena tidak punya teori sastra yang baik gitu ya,” ungkapnya rendah hati.