Sleman, NU Online
Putri sulung Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid, mengatakan, NU adalah tulang punggung Indonesia. Menurutnya, dunia internasional kagum karena Islam yang dipegang teguh di Indonesia sangat mengedepankan prinsip<> al-muhafadhah ‘alal-qadimis-shalih wal akhdzu bil-jadid al-ashlah (merawan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara dalam acara Silaturahim Kebangsaan, yang diadakan oleh Jaringan Mahasiswa Islam Rahmatan Lil ‘Alamin atau JAMIN, di Masjid UGM, Kamis (04/09) malam. Selain Alissa Wahid, ada juga KH Muwafiq dan KH Ahmad Hadidul Fahmi yang didaulat mengisi acara.
Koordinator Pusat Jaringan Gusdurian itu menambahkan, jika dahulu NU hanya dipandang sebagai kaum sarungan dan kaum ndeso, maka berbeda dengan saat ini, di mana kehadiran NU sudah bisa diterima di mana-mana bahkan di dunia internasional.
“Jadi, wong NU iku iso modern ning yo iso njogo kearifan lokal. Ndeso, tapi yo iso modern (Jadi, orang NU itu bisa modern tapi juga bisa menjaga kearifan lokal. Orang desa, tapi juga bisa modern),” ujarnya yang segera disambut tawa hadirin.
Ia cukup menyayangkan bahwa akhir-akhir ini Islam telah dibingkai hanya sebatas prosedural saja, tapi menghilangkan prinsipnya. Padahal hal itu bertentangan dengan apa yang diwariskan para kiai.
“Kita itu terikat dengan hal-hal prinsipil, bukan prosedural. Karena hal-hal yang bersifat prosedural itu bisa berubah sesuai dengan konteks yang ada. Jadi jangan terikat dengan hal-hal prosedural,” tandas Alissa.
Menurutnya, hal itulah yang sering kita lupa. Selama ini kita mudah terbujuk dengan hal-hal yang berlabel islami yang ternyata justru tidak islami. Oleh karena itu ia menegaskan dengan berkata, “Kita sebagai warga NU memiliki beban sebagai tulang punggung Indonesia”.
Sementara itu, KH Muwafiq yang juga didaulat menjadi pembicara mengatakan bahwa hari ini hanya Islam ala Indonesia-lah yang bisa menjadi contoh, dan bukan Islam ala Afganistan, Iran, Persia, maupun Saudi Arabia.
Adapun KH Ahmad Hadidul Fahmi menambahkan akan pentingnya pemahaman santri yang tidak hanya berupa tekstual saja, akan tetapi juga kontekstual. Karena selama ini salah satu penyebab munculnya islam radikal adalah mengedepankan pemahaman secara tekstual saja. (Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib)