Kudus, NU online
Guna menghindarkan pelajar dari tindakan brutal, pendidikan agama harus ditekankan sebagai nilai-nilai dasar keadaban bagi penyandangnya. Agama diajarkan untuk mencapai sikap menerima dengan ketulusan.<>
Demikian yang disampaikan Guru Besar Undip Semarang Mudjahirin Thohir dalam acara seminar dan lokakarya (semiloka) bertema "Apakah tawuran itu menjadi problem tradisi, karakter atau kurikulum?" di Hotel Griptha Kudus , Sabtu (20/10).
Ia mengatakan, pendidikan agama yang sering disebut terapi bagi siswa untuk menghindari tindakan kekerasan, proses pengajarannya perlu dikaji ulang. Apakah agama yang diajarkan oleh lebih ditekankan kepada terbentuknya prinsip-prinsip hidup multikultural (mencintai Allah berarti mencintai ciptaan-Nya) atau lebih ditekankan kepada pemilahan sosial.
Dalam suasana demikian, menurutnya, perbedaan pandangan, aliran dan ajaran akan menimbulkan kecurigaan dan permusuhan. "Oleh karenanya, agama harus menjadi identitas keadaban bagi penyandangnya, bukan diposisikan diposisikan sebagai identitas sosial yang berefek kepada pemilahan," ujar Mudjahirin Thohir.
Dalam mengantarkan anak-anak (pelajar) mencapai kemuliaan,kata dia, harus didorong dan diuji dengan kerja keras tanpa harus dicukupi fasilitas. Jika tidak mengeluh dan bisa sukses perlu diuji dengan uang.
"Jika jujur dan dapat menggunakan secara tepat, makalah ujiulah dengan perempuan. Bila tidak tergoda,maka ujilah dengan diterjunkan ke masyarakat. Jika bisa memimpin, maka dia adalah perwira,"tandasnya.
Menurut penilaiannya, tawuran antara pelajar mudah terjadi karena di dalam masyarakat dewasa ini,sudah muncul gejala anomali, permisive dan ketidak pedulian. Kondisi demikian, diperparah oleh tayangan media massa yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi daripada ikut mengupayakan terbentuknya karakter bangsa.
"Eksploitasi tayangan yang mensyahwati dan yang memberi ruang berlalulang kekerasan pada batas-batas tertentu, akan dijadikan model remaja yang sedang mencari jati diri,"tambah Mudjahirin yang juga budayawan ini.
Disamping itu, imbuh dia, anak (pelajar) arogan secara bukanlah karakter bawaan melainkan efek dari situasi pendidikan yang diterima di dalam keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan sosialnya. Orang tua yang terlalu sibuk mengejar mimpi keduniaan dan membangun citra diri sebagai orang sukses, biasanya akan menebus kekurangannya dengan memilih cara-cara instan yaitu dengan memfasilitasi kebutuhan anaknya secara berlebihan.
"Efeknya adalah ketika diberitahu kalau anaknya tawuran,biasanya tidak disikapi secara reflektif atas kekurangannya tetapi justru emosional menyalahkan pihak lain atau lembaga pendidikan."ungkapnya di depan ratusan pelajar dan guru SMA/SMK se Jawa Tengah.
Semiloka yang mengurai tawuran ini, dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan mulai pelajar, guru SMA/SMK, tokoh masyarakat, pemerintahan dan ormas se Jateng. Selain Mudjahirin Thohir, nara sumber lainnya Dirjen Pendis Kemenag Nur Syam, Praktisi Hukum H Hasyim Asy’ari, HM Ihsan, (Praktisi Pendidikan) , dan Slamet Budi Cahyono (Ketua Masyarakat Ilmiah Pemuda Indonesia (MIPI)/Ketua Young Entrepreneur Society).
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor : Qomarul Adib