Internasional

Suriname, Nusantara di Benua Amerika

Selasa, 13 Juni 2017 | 09:01 WIB

Alhamdulillah, Ramadhan tahun ini penulis berkesempatan berdakwah di Suriname, sebuah negara bekas jajahan Belanda yang sedikit demi sedikit melepaskan diri dari cengkeraman negeri kincir angin tersebut. Walau terkesan lambat, namun patut diacungi jempol. Mereka ingin kemerdekaan yang utuh seperti yang dirasakan Indonesia.
 
Perjalanan menuju Suriname membutuhkan fisik yang kuat, karena memerlukan waktu 24 jam dengan pesawat dan 6 jam transit di dua negara, Malaysia dan Belanda.

Perbedaan waktu dengan Indonesia 10 jam lebih lambat. Artinya jika Indonesia sekarang pukul 17.00 sore maka di Suriname tepat pukul 07 pagi. Saya pun menyempatkan berbincang Kedubes RI, Pak Sutikno, di kediaman dan kantornya. Saya ingin tahu segala hal yang berhubungan dengan Suriname.
 
Selaku Kedubes yang sudah dua tahun menjabat, Pak Sutikno menjelaskan, kerukunan multi etnis dan multi ras di sini begitu indah.
 
“Bayangkan, ketika orang Suriname yang memiliki nenek moyang Jawa berbicara dengan bahasa Mandarin, lalu temannya yang beretnis India menimpali obrolan dengan bahasa Jawa, dibalas lagi obrolan teman dari warga China dengan obrolan bahasa Urdu, ini sangat menarik dan patut diapriasi,” cerita Pak Sutikno.
 
Menurut beliau untuk kentalnya bahasa Jawa di tengah masyarakat Jawa Suriname, sudah mulai bergeser kepada pemakaian bahasa “ngoko” daripada melengkapinya dengan kromo alus dan kromo inggil. Apabila warga Indonesia asli main ke Suriname dan mengajaknya obrolan berbahasa Indonesia, tidak ada yang dapat memahaminya.

Kalau kita mau mengalah dan mengajak bicara menggunakan bahasa Jawa ngoko, mereka sangat senang dan paham apa maksud omongan kita.

Suriname memiliki 15 propinsi dan hampir sejuta penduduk dengan gabungan Afrika, India, Jawa, Belanda dan China. Orang Jawa di sini menempati jumlah terbanyak ketiga dari jumlah total penduduk. Bahasa resmi di sini menggunakan bahasa Belanda dan taki-taki.
 
Bahasa taki-taki adalah bahasa plesetan dan pasaran Inggris ataupun Belanda yang dibaca suka-suka semisal ‘tomorrow’ diucapkan ‘tamara’; far yang artinya jauh ditulis dan dibaca ‘fara’.
 
Sementara itu bahasa jawa ngoko juga menjadi bahasa yang membumi di negara ini. Mereka sudah tidak mengenal bahasa ngoko alus, kromo alus apa lagi kromo inggil. Pengaruh peninggalan nenek moyang mereka memberikan kekayaan bahasa jawa.
 
Di Suriname ada satu daerah yang dikenal dengan sebutan Mango. Itu adalah pabrik tebu yang sudah tidak ada penghuninya lagi. Masyarakat sekitar situ juga telah meninggalkan rumah-rumah mereka. Mereka berpindah ke wilayah lain yang ada aktivitas pekerjaan.
 
Rumah terbuat dari kayu-kayu yang ditata rapi. Bahkan ada satu gereja yang bertingkat dengan menggunakan kayu, yang sekaligus menjadi obyek wisata. Gereja itu dinamakan Gereja Katedral.
 
Di Suriname ada juga orang kaya keturunan Jawa yang menjadi pemegang saham dua bank terbesar. Ia suka bermain bola juga dengan Bapak Kedubes di kala senggang. Ada juga pengusaha keturunan Jawa yang berbisnis di bidang penyediaan padi, yang hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan lokal, tidak sampai diekspor keluar Suriname.
 
Di salah satu distrik yang disebut Keneri ada perkebunan pisang yang luas. Pisang itu diekspor ke Eropa dan menjadi komoditi terbesar dari negeri Suriname.
 
Sabtu sore (10/6) yang lalu, jam setengah empat pintu kamar saya diketuk lagi. Rupanya ada seorang pemuda yang ingin memeluk agama Islam. Dia mengaku dari keluarga broken home lalu bekerja di sebuah perusahaan dan berteman dengan orang India yang muslim. Ia tertarik masuk Islam. Saking seriusnya ingin memeluk Islam, dia sudah berpuasa selama lima hari. Dituntunlah dia oleh Pak Sobari, pendiri Nurusshobri Center.

Saya dan putra Pak Sobari menjadi saksi, saat pemuda itu mengucap syahadat. Ada titik air di sudut matanya. Saya menangkap suasana indah dari pemuda yang mendapat hidayah Allah itu.
 
Oleh Pak Sobari saya diminta untuk memberi nama Islam pada pemuda itu. Terpilihlah nama Muhammad Ramadhan sebagai nama Islamnya, sebagaimana bulan di mana hatinya dibuka oleh Allah adalah bulan Ramadhan ini.
 
Mbak Laili, putri Pak Sobari memberi pemuda itu peci, jajanan, buah-buahan, beras dan bahan sembako lainnya. Saya memberinya baju hem dan beberapa puluh uang euro. Kami berharap Mas Ramadhan bisa istiqamah menjaga imannya.

Sekitar jam setengah lima, Masa Ramadhan diberi sabun mandi dan handuk supaya bersuci dan dilatih berwudlu oleh Mas Saifullah, putra Pak Sobari yang masih duduk di kelas 3 SMP. Setelah itu kami shalat ashar berjamaah.

Sebelum pukul emam, kami diajak menuju lokasi pengajian. Jaraknya 50 km dari wisma,  tepatnya di wilayah Javaweg. Sampai di lokasi pukul 7 malam waktu setempat, adzan maghrib berkumandang. Kami pun berbuka dengan air manis dan jajanan, diteruskan dengan shalat maghrib berjamaah, dan makan ala prasmanan.

Waktu shalat isya di sini pukul delapan.Saya diminta untuk menjadi imam shalat isya, terawih, dan sekaligus memberikan ceramah. Dalam ceramah saya menggunakan bahasa Jawa ngoko.
 
Saat perjalanan pulang ke wisma, ada kejadian lucu. Saat itu saya mengucapkan kata ‘mobil’ yang mereka pahami sebagai “handphone”. Mereka menjelaskan untuk mengucapkan kata yang berarti mobil, maka kita harus ucapkan “montor”. Sedangkan sepeda motor dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Suriname diucapkan “sepeda montor”.
 
Ada lagi ucapan yang berbeda arti yaitu pencak silat. Menurut warga Suriname pencak silat sudah memiliki arti yang konotatif, yaitu bersetubuh dengan pasangan. Sedangkan untuk mengungkapkan kata kikir, mereka ucapan “kridi” tanpa “t”.
 
Ada lagi yang lebih aneh. Ketika saya ucapkan, ‘Kita ini memiliki masalah yang sangat besar,” mereka semua tertawa. Rupanya arti dari “masalah” adalah bumbu masak alias micin. Sedangkan arti masalah dalam bahasa mereka menggunakan kata “problemo”.
 
Penggunaan bahasa taki-taki, saya lihat di banner asuransi yang bertuliskan ‘TAMARA NO FARA” yang artinya “TOMORROW IS NOT FAR”. Itu adalah adajakan agar ikut asuransi akan dijamin sampai tua.

Ismail Hasan, dai anggota Dai Ambassador CORDOFA 2017 untuk negara Suriname.


Terkait