Seminar Akbar Haji 2025, PBNU Dorong Keadilan Masa Tunggu bagi Negara Mayoritas Muslim
Senin, 2 Juni 2025 | 11:00 WIB

Ketum PBNU Gus Yahya Staquf saat menyampaikam pidato kunci dalam acara Grand Hajj Symposium ke-49 di Jeddah, Arab Saudi, pada Ahad (1/6/2025). (Foto: tangkapan layar TV Iraq 24HD)
Jeddah, NU Online
Keadilan sistem antrean haji bagi negara-negara dengan jumlah jamaah besar seperti Indonesia menjadi sorotan dalam Grand Hajj Symposium Ke-49 yang diselenggarakan di Jeddah, Arab Saudi pada Ahad (1/6/2025).
Seminar yang digelar Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi ini mengusung tema al-Istitha'ah fi al-Hajj wa al-Mustajaddat al-Mu'ashirah (Kemampuan Berhaji dan Tantangan Kontemporer).
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), sebagai satu-satunya pembicara dari Asia Tenggara, menekankan perlunya reformasi kebijakan untuk mengatasi kesenjangan antara kuota dan antrean panjang jamaah.
Gus Yahya menyoroti kesenjangan antara sistem kuota Saudi (nidhamul hishash) dan sistem antrean (nidhamul intidhar) di negara-negara dengan jumlah penduduk Muslim yang besar. Sejak 1987, Arab Saudi memberlakukan sistem kuota (nidhamul hishash) yang membatasi jamaah haji tiap negara maksimal 0,1 persen dari total penduduk Muslim.
Bagi Indonesia dengan 231 juta Muslim, kuota tahunan hanya sekitar 231.000 jamaah—jauh di bawah antrean 5,5 juta pendaftar. Akibatnya, masa tunggu mencapai 20-40 tahun, bahkan di daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa lebih lama.
Dalam pidatonya, Gus Yahya menjelaskan dilema istitha’ah (kemampuan berhaji) yang timbul akibat antrean panjang.
"Pertanyaannya adalah: kapan seseorang terkena hukum mustathi’ (mampu)? Biaya pendaftaran awal hanya sebagian kecil dari biaya haji aktual, sehingga tidak bisa jadi patokan kemampuan. Sementara, kondisi fisik dan finansial calon jamaah saat gilirannya tiba, yang bisa 20-40 tahun mendatang, tidak bisa diprediksi," tegasnya.
Ia memaparkan sekitar 5,5 juta pendaftar haji di Indonesia harus menunggu hingga puluhan tahun. Menurut mazhab Syafi’i, istitha’ah dihitung saat waktu keberangkatan aktual, bukan pendaftaran.
"Umat butuh fatwa dan edukasi agar mantap memahami kewajiban haji sesuai situasi ini," tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, ada empat poin yang direkomendasikan Ketum PBNU untuk dasar pertimbangan dalam peningkatan layanan haji ke depannya.
Pertama, Gus Yahya merekomendasikan perlunya mengedukasi umat tentang istitha’ah.
"Umat Islam perlu mendapatkan fatwa, penerangan, dan pendidikan dari para ulama mengenai jatuhnya waktu penghitungan dan penetapan istitha’ah menurut syari’at," ujarnya.
"Sehingga mereka mendapatkan kemantapan dan ketenteraman hati dalam menyikapi kewajiban berhaji," imbuhnya.
Kedua, perlunya seruan Once-in-a-Lifetime Hajj (haji satu kali seumur hidup) digalakkan kepada umat dengan niatan menyedekahkan kesempatan dari yang sudah pernah berhaji, walaupun mampu berhaji lagi, kepada mereka yang belum pernah mendapat giliran haji sama sekali.
Ketiga, negara-negara yang menerapkan sistem antrean bagi jamaah haji perlu memikirkan strategi yang lebih adil dalam mengelola antrean pendaftar haji yang telah mencapai jumlah yang amat besar. Selain itu, diperlukan kerja sama dengan Pemerintah Saudi dalam pengelolaan kuota haji bagi negara masing-masing.
Keempat, Pemerintah Saudi diharapkan menetapkan desain penyelenggaraan layanan haji sesegera mungkin dan disosialisasikan secara luas kepada kaum Muslimin di seluruh dunia. Dengan begitu, para calon jamaah haji punya kesempatan lebih longgar untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik dan matang.
Gus Yahya menyebut Nahdlatul Ulama siap berkontribusi dalam pelaksanaan sosialisasi sistem dan penyelenggaraan ibadah haji yang nantinya telah diperbarui oleh Pemerintah Saudi.
"Untuk umat Islam di Indonesia khususnya, Nahdlatul Ulama, dengan jaringan organisasi yang luas meliputi seluruh negeri dan pengikut tidak kurang dari 160 juta orang yang terus bertambah dari waktu ke waktu, bersedia untuk membantu pelaksanaan reformasi kebijakan tersebut," pungkasnya.