Internasional

Mina, Wajah Tua yang Menjadi Modern

Selasa, 15 Oktober 2013 | 08:36 WIB

Jakarta, NU Online
Perkampungan tenda di Mina sepi sepanjang tahun dan hanya ramai selama lima hari dalam musim haji.
Berada di 12 kilometer diluar Makkah, Mina merupakan tempat Nabi Ibrahim menghabiskan malam sebelum dia melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail dan kemudian menggantikannya dengan kambing. Muslim di seluruh dunia menyembelih kambing, sapi, dan onta untuk diberikan kepada orang miskin sebagai tanda pengorbanan Nabi Ibrahim.<>

Mina adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebuah lembah. Sejauh mata memandang, tenda-tenda menutupi ruang terbuka, yang disusun baris berbaris. Karena itulah, Mina disebut kota tenda. 

Dalam dua tahun terakhir, Mina mengalami perubahan luar biasa saat pemerintah mengucurkan milyaran riyal untuk proyek infrastruktur untuk memberi kenyamanan selama masa ibadah haji.

Mereka yang datang 30 tahun lalu, bahkan 10 tahun lalu akan susah mengenali Mina sebagaimana wajahnya saat ini.
Ahmed Muhammad, jamaah dari Sudan, kepada Arab News dengan jelas mengingat suasana Mina tahun 1980.

“Struktur yang dominan waktu itu adalah Masjid Al-Qaif, di pusat Mina,” katanya. “Seluruh jamaah dari Makkah akan langsung menuju masjid tersebut.”

Di tempat seperti inilah para jamaah haji berkenalan dan menjalin persahabatan dengan orang dari berbagai negara, seperti Pakistan, India, Malaysia, Amerika dan lainnya. Banyak tenda tetapi tidak massif seperti sekarang dan masih banyak ruang terbuka.

Di Jembatan Jamarat, dimana jamaah haji melempar jumrah sebagai simbol menghilangkan setan, saat itu masih seperti jembatan penyeberangan pejalan kaki kecil. “Terdapat lantai dasar dan lantai satu, tetapi sangat kecil, namun cukup buat jamaah haji waktu itu,” katanya. “Ketika jumlah jamaah haji mencapai jutaan dalam tahun-tahun terakhir, lokasi tersebut menjadi penuh sesak.”

Maulana Maqbool Rahmani, dari India, setelah berhaji 17 tahun terakhir pada 1997, “Kami menyebutnya tahun api,” mengacu pada kebakaran yang menyapu perkemahan dan menyebabkan 350 jamaah meninggal. “Saya diantaranya yang berhasil selamat.” 

Rahmani mengapresiasi pemerintah Saudi yang mulai menggunakan tenda tahan api dari fiberglass yang dilapisi dengan teflon dan sensitif terhadap percikan air, yang dihubungkan  dengan sistem alarm dan peneranan listrik. Hal ini merubah wajah Mina. Tenda-tenda tersebut diatur dengan pendekatan sains.

Setelah masalah api tersebut, pemerintah dihadapkan pada tantangan lain, yaitu bagaimana menjalankan jumrah.

“Ini merupakan tantangan terbesar karena tragedi di Jamarat sudah menjadi sebuah norma,” said Abrar Siddiqui, kata operator haji yang berbasis di Jeddah.

Kemudian diputuskan untuk merubah alur pejalan kaki dengan sebuah kompleks besar untuk menghindari kemacetan. Milyaran uang dihabiskan untuk membangun konstruksi bertingkat dengan banyak pintu keluar, percikan air dan pendingin udara.

“Saat ini, menjalankan ritual ini sangat mudah,” kata Siddiqui. “Proyek ini dijalankan oleh Saudi Bin Ladin Group. Di lokasi tersebut terdapat sebuah helipad untuk mengevakuasi jamaah saat dibutuhkan ketika terjadi kepadatan.”

Juga terdapat langkah cerdas,  pelemparan batu dibuat jauh lebih mudah dengan mengubah bentuk pilar yang melambangkan Setan. 

“Terdapat pilar bulat di masa lalu dimana jamaah akan melempar dan kadangkala mengenai dirinya sendiri dengan lemparan batu sebesar kacang,” kata Siddiqui. “Mereka akan meleset dan akan mengulangi ritual lagi dan lagi sehingga mengarah ke bencana.”

Bentuk pilar dirubah dari bulan menjadi elip. “Ketika anda mendekatinya, bentuknya sekrang lebih pada bentuk dinding V sehingga sangat mudah melemparkannya,” kata Siddiqui.

Ketika masalah tenda dan tempat pelemparan jumlah teratasi, pemerintah dihadapkan pada masalah transportasi.

“Ketika semua jamaah harus bergerak dari Makkah ke Mina lalu ke Arafah dan balik lagi ke Muzdalifa dan Mina, hal ini akan menimbulkan kebuntuan,” kata Yasser Al-Qahtani, seorang jurnalis TV. “Jamaah akan menghabiskan berjam-jam dalam bis mereka hanya untuk mencapai Muzdalifa dan Mina dari Arafat, yang jaraknya hanya 5 km.”

Meskipun sudah membangun banyak jalan, tetapi masih terjadi kemacetan saat musim haji.

“Karena itulah, pemerintah memutuskan untuk memperkenalkan kereta,” kata Al-Qahtani. “Yang mengambil alih sebagian kemacetan tersebut. Sekarang, layanan kereta dapat mengangkut ribuan jamaah dari Arafan ke Mina dan membawanya kembali.”

Kereta haji ini menambah dimensi kota, untuk pertama kalinya, jamaah haji tak lagi karena mendengar deru kereta yang meluncur diatas tenda.

Rifat Anjum, seorang expatriat yang lama tinggal di Jeddah mengatakan dia pertama kali menjalankan haji pada 2000. “Kami bagian dari rombongan haji yang diorganisir oleh operator haji. Kami tidak tinggal di tenda waktu itu, tetapi di sebuah rumah yang dekat dengan jamarat. Pada hari pelemparan jumrah, kami akan melihat keluar gedung untuk menyaksikan apakah lokasi pelemparan jumrah padat,” katanya.

Seluruh bangunan tersebut telah diruntuhkan. Seluruh kota tua Mina sekarang digantikan dengan bangunan modern yang dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, tempat pemotongan hewan yang baik, jembatan penyeberangan, area pejalan kaki dan stasiun kereta. (mukafi niam)
Foto: Arab news


Terkait