Jakarta, NU Online
Mary, seorang Muslimah taat, tiba di Hong Kong pada Juni 2011. Bertubuh mungil dan berusia 33 tahun, perempuan itu berasal dari sebuah desa berpenduduk sekitar 5.000 jiwa di pesisir Laut Jawa. Warga desanya menyambung hidup dengan bersawah, mengumpulkan kayu, dan membuka bengkel sepeda motor.
<>
Ia sosok ambisius. Mary ingin menabung untuk membangun tanggul agar rumahnya tidak terhantam banjir lumpur saat musim hujan tiba. Ia pun ingin menguliahkan anaknya. Demikian kisah yang dikutip dari Wall Street Journal.
Sebelumnya, Mary pernah bekerja sebagai pembantu selama empat tahun di Arab Saudi. Namun, seperti wawancaranya dengan Wall Street Journal, ia ketakutan setelah mendengar cerita bahwa seorang pembantu yang tak bersalah mengalami hukuman potong tangan karena dituduh mencuri gelang emas.
Saat kembali ke Indonesia, anak bungsunya—berusia dua tahun saat ia bertolak—menganggapnya orang asing.
Dengan segera, tabungan dari pekerjaannya di Arab ludes. Seorang pencari tenaga kerja tiba dengan cerita manis pekerjaan berbayaran besar di Hong Kong.
Berharap mendapatkan pekerjaan sistem kontrak dua tahun dengan bayaran bagus di Hong Kong, Mary mendatangi balai pelatihan sebelum terbang.
Sebagai bayaran atas pelatihan itu, ia sepakat mengganti ongkos belajar sekaligus biaya lain-lain, seperti pemeriksaan kesehatan sebelum berangkat—hal biasa yang harus dikeluarkan para pembantu yang akan bekerja di luar negeri. Dengan kata lain, ia praktis setuju menyerahkan hampir seluruh gaji tujuh bulan pertamanya ke agen pencari tenaga kerja.
Di pusat pelatihan itu, Mary diajarkan dasar-dasar pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, dan bahasa Kanton—bahkan ia dilatih menyenandungkan lagu buaian. Para peserta didik juga diajarkan “berkata-kata yang sopan dan halus, serta bermuka yang ceria,” ujar Wintriyanah, instruktur pelatihan.
Setelah hampir empat bulan, Mary mendapatkan majikan: seorang pramugari Hong Kong yang ia panggil “Madam”. Rumah sang majikan berisi suami sang pramugari, seorang bayi, dan dua adik laki-laki sang suami.
Saat Mary tiba di Hong Kong, ia menyembunyikan kerudungnya di dalam tas. Balai pelatihan memberitahunya bahwa bahwa penduduk Hong Kong tidak menoleransi simbol agama, katanya dalam wawancara.
Pusat pelatihan tempat Mary belajar menyatakan meminta para peserta didik untuk menanggalkan kerudung, agar calon majikan dapat melihat rambut pendek dan bersih mereka.
Segera setelah sampai, ia dijemput oleh pria Cina berkacamata bernama Fok Ka-Ching yang ia panggil Suk Suk, atau “paman” dalam bahasa Kanton. Ia adalah salah seorang ipar sang majikan.
Suk Suk membawa Mary ke apartemen keluarganya di pinggiran kota Kowloon. Ia khawatir karena tidak memiliki ruang pribadi untuk salat, akibat harus tidur di ruang depan. Saat tidak sedang bekerja atau tidur, ia merasa harus duduk di bangku dapur. (mukafi niam)