Singapura, NU Online
KH Ma’ruf Amin mengatakan, Islam Wasathiyah (moderat) merupakan model keislaman yang sesuai dan relevan dalam bingkai kenegaraan di Indonesia. Islam Washatiyah merupakan peneguhan atas Islam moderat yang dianut oleh arus utama Muslim di Indonesia.
“Hal itu (Islam Wasathiyah) penting sebagai respons atas penguatan dan konsolidasi ekstremisme atas nama Islam, baik kiri maupun kanan, dalam beberapa tahun terakhir,” kata Kiai Ma’ruf saat menjadi narasumber dalam acara kuliah umum yang diselenggarakan Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam (RSIS) di Singapura, Rabu (17/10).
Kiai Ma’ruf menegaskan, meski mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia bukan negara agama. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara sebagaimana negara-negara Barat. Sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa, Indonesia adalah negara yang berdasar pada Pancasila.
“Indonesia memiliki konsensus khas dalam mengelola relasi agama dan negara, yang prinsipnya tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi,” jelas Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini.
Kiai Ma’ruf mengakui, relasi antara agama dan negara di Indonesia merupakan sebuah perdebatan yang sangat panjang. Satu kelompok menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Satu kelompok ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis komunis. Dan satu kelompok lainnya tetap mempertahankan Indonesia adalah negara bangsa yang berdasar pada Pancasila dan konsensus nasional. Perdebatan terkait hal ini pernah mengalami titik kulminasi, dimana ada sebagian kelompok yang sampai melakukan pemberontakan.
“Diwarnai beberapa pemberontakan, gerakan protes masyarakat, debat alot di lembaga Konstituante yang disetop dekrit presiden, hingga makin kukuh sebagai konsensus nasional, setelah amandemen UUD 1945, pada tahun-tahun awal reformasi,” terangnya.
Benteng keutuhan NKRI
Kiai Ma’ruf menuturkan, prinsip-prinsip Islam moderat sudah berkembang di Indonesia sejak dahulu kala, bahkan sejak Islam yang dibawa Wali Songo masuk ke wilayah Nusantara. Meski demikian, semangat Islam moderat (Wasathiyah) harus diteguhkan mengingat ekstremisme atas nama Islam makin menjadi-jadi.
Ada tiga macam model ekstremisme atas nama Islam. Pertama, ekstremisme atas nama Islam dengan menggunakan kekerasan yang seperti ISIS dideklarasikan pada 2014. Kelompok ini melakukan aksi-aksi kekerasan dan perang demi menegakkan khilafah. Tidak hanya itu, mereka juga menyebut negara yang sistemnya tidak berdasarkan ‘Islam ala mereka’ sebagai thaghut.
“Pengaruh ISIS juga menguat di Indonesia, disusul berbagai aksi teror pendukungnya,” ujar Kiai Ma’ruf.
Kedua, model non-kekerasan seperti Hizbut Tahrir. Ketiga, terkadang menggunakan aksi kekerasan dan teror seperti Jama’ah Islamiyah (JI). Meski berbeda dalam aksi, namun kelompok-kelompok ekstremisme atas nama Islam sepakat untuk anti dengan negara bangsa (nation-state). Biasanya organisasi tersebut bersifat transnasional. Gerakan-gerakan tersebut sudah masuk ke wilayah Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara.
Kiai Ma’ruf menambahkan, ada beberapa gerakan esktremisme agama lokal seperti DI/TII yang menolak negara bangsa Indonesia. Mereka melakukan pemberontakan di beberapa daerah di Indonesia. Selamatnya, langkah mereka bisa diantisipasi.
“Semua gerakan itu atas nama tuntutan akomodasi maksimum aspirasi politik Islam. Mereka selalu bertolak dari asumsi bahwa umat Islam dipinggirkan-dizalimi oleh rezim yang mereka persepsi anti-Islam, di negeri mayoritas Muslim,” jelasnya.
Kiai Ma’ruf menjelaskan, gerakan-gerakan itu bukan hanya dipicu dinamika domestik, tapi juga global. Baik atas nama solidaritas sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) yang merasa terdzalimi, maupun atas nama perlindungan akidah, sebagai respons atas ekstrimitas dari kutub seberang, berupa gerakan liberalisme keagamaan, yang dinilai mengancam kemurnian akidah.
“Ada interaksi sebab-akibat timbal balik antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri,” ucapnya.
Menurut Kiai Ma’ruf, penilaian seperti itu tidak benar. Di Indonesia, aspirasi politik Islam diperhatikan dan diakomodasi dengan baik. Berbagai layanan publik keagamaan juga terfasilitasi dengan baik. Namun demikian, mereka tetap menganggap bahwa pemerintah Indonesia anti Islam dan mendzalimi umat Islam sebagai mayoritas.
“Seperti model penyelesaian sengketa keagamaan lewat peradilan atau arbitrase, layanan haji, zakat, wakaf, perbankan Islam, lembaga keuangan non-bank berbasis Islam, jaminan produk halal, telah tersedia payung regulasi dan kelembagaannya,” terang Syuriah PBNU ini.
“Puncak implementasi Syariat dijalankan di Aceh secara khusus, yang memungkinkan penerapan syariat Islam secara total,” tambahnya.
Melihat itu semua, Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa prinsip-prinsip moderasi Islam harus diteguhkan di Indonesia. Sejumlah ormas Islam telah ikut ambil bagian dalam gerakan peneguhan moderasi Islam yang kompatibel dengan demokrasi dan negara kebangsan. MUI dengan Islam Wasathiyah, Nahdlatul Ulama dengan Islam Nusantara, dan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan.
"Islam Wasathiyah bukan hanya penting bagi Indonesia, tapi juga penting bagi harmoni dan stabilitas kawasan, khususnya Asia Tenggara," urainya. (Muchlishon)