Internasional

Batasan Toleransi Menurut Rais PCINU Maroko

Ahad, 7 Oktober 2018 | 07:00 WIB

Batasan Toleransi Menurut Rais PCINU Maroko

Pelajar delegasi PBNU di Maroko

Jakarta, NU Online
Toleransi menjadi salah satu fondasi NU dalam bertindak mengambil keputusan. Rais Pengurus Cabang Islam Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko Aniq Nawawi menyampaikan bahwa batasan tenggang rasa itu pada hal-hal yang masih terdapat perbedaan pendapat.

"Tasamuh itu ukurannya adalah kita itu membiarkan orang lain ketika itu masalah mukhtalaf fiha (perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang suatu hal), tetapi kita akan tegas terhadap muttafaq alaiha (kesepakatan ulama atas suatu hal)," terangnya di hadapan 44 pelajar baru utusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat Pembekalan Pelajar Baru PBNU di Sekretariat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko, Rabat, Maroko, Sabtu (6/10).

Menurutnya, tidak semua hal yang dianggap keliru itu tiba-tiba harus segera diluruskan dengan kekuatan. Apalagi hal-hal yang masih diperdebatkan kekeliruannya. Ia mencontohkan kisah Nabi Muhammad SAW yang enggan mengubah bentuk Ka'bah.

"Nabi pernah curhat kepada Siti Aisyah RA," kata pria yang baru menyelesaikan studi magisternya itu.

Bangunan Ka'bah yang ada saat ini, ceritanya, tidak sama dengan yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Lalu, Siti Aisyah memberi usul untuk mengubahnya sebagaimana yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.

"Ya kalau gitu, ubahlah, hancurin aja yang sekarang," ujarnya mengutip tanggapan putri Sayyidina Abu Bakar RA itu.

Nabi Muhammad SAW sebenarnya ingin melakukan hal tersebut, tetapi ia tak melakukannya karena khawatir akan menyinggung kaum kafir yang baru masuk Islam. "Saya itu takut kalau saya mengubah, orang-orang Jahiliah yang barus masuk Islam ini akan tersinggung," katanya menceritakan jawaban Nabi Muhammad.

Perayaan ulang tahun tidak mengubah pelakunya tiba-tiba menjadi kafir. Sebab, hal itu merupakan masalah yang masih diperdebatkan. Aniq menjelaskan bahwa batasan ungkapan 'Siapapun yang menyerupai suatu kaum itu bagian dari mereka' adalah akidah. Namun jika masih tergolong ke dalam adat, maka diperbolehkan selagi tidak bertentangan dengan syariat.

"Tasamuh itu kita berhentikan ketika itu merusak iman kita," tegasnya. (Syakir NF/Muiz)    


Terkait