Fragmen

Menelusuri Eksotisme Makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil

Selasa, 12 April 2016 | 00:01 WIB

Suatu ketika, saya melihat postingan teman di sosial media yang menujukkan fotonya di depan sebuah komplek makam kuno di daerah Kediri, Jawa Timur. Dalam keterangan fotonya, ia menulis bahwa dirinya sedang ziarah di makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil. Saya kemudian bertanya, siapa gerangan ulama yang disemayamkan di kompleks makam tersebut, padahal saya sudah berkali-kali berada di Kediri dan belum pernah mendengar tentang makam Syaikh Syamsuddin.

Dengan keterbatasan informasi, dengan rasa penasaran saya memutuskan untuk mendatangi makam tersebut bersama seorang teman yang tinggal di Kediri. Teman saya mengajak berangkat pada hari Kamis malam, menurutnya di malam Jumat pesarean Syaikh al-Wasil ramai pengunjung. 

Kamis, 14 Januari 2016 setelah sholat Isya’, kami berangkat mengendarai sepeda motor. Letak makam berada di pusat kota Kediri, tepatnya kira-kira satu kilometer ke arah utara dari alun-alun kota, atau lima ratus meter sebelah barat stasiun Kediri. Komplek makam terletak di kelurahan Setono Gedong yang bermakna istana besar. Gang menuju makam cukup sempit sehingga hanya bisa dilewati pengendara motor. Sebelum memasuki kawasan makam, ada tulisan yang menunjukkan bahwa masjid sedang direnovasi. 

Setelah memarkir sepeda motor, kami masuk area makam. Terdapat sebuah gapura yang tidak begitu tinggi namun sangat tebal dindingnya. Konon gapura tersebut sebelumnya merupakan gapura dari bangunan candi. Bangunan pintu masuk area masjid memiliki bentuk yang unik, pada bagian atas pintu gerbang tersebut dibuat cekung di tengah yang bentuknya menyerupai batu nisan makam kaum perempuan. 

Masih beruntung bahwa gapura candi itu kabarnya tidak dihancurkan, namun hanya dilapisi semen yang menutupi seluruh bagian gapura sehingga bentuknya pun berubah seperti terlihat sekarang ini. Setelah melewati gapura, ada masjid yang sedang direnovasi. Di belakangnya terdapat bangunan masjid kuno yang mirip dengan pendopo. Masjid inilah yang dinamai masjid Setono Gedong. 

Bila dilihat dari sisi luar tampak seperti bangunan kuil Cina. Keunikan tersebut karena atapnya berbentuk seperti pagoda dan pintu masuknya seperti pintu masuk kuil Cina. Benar saja, karena Kelurahan Setono Gedong berada di tengah pusat pertokoan milik etnis Cina, dan adanya sebuah kelurahan yang bernama Pocanan atau biasa disebut Pecinan yang berada di sebelah utara Masjid Setono Gedong. 

Etnis Tionghoa sudah lama mendiami wilayah Pocanan ke selatan sampai di sekitar area Masjid Setono Gedong. Karena di sebelah barat Masjid Setono Gedong juga masih terdapat bekas-bekas toko milik orang Cina yang sudah lama tak terpakai. 

Di depan masjid terdapat susunan batu yang ditata berjajar membentuk undakan menuju bangunan pendopo bergaya joglo, yang berukuran besar di sebelah kanan, dan yang berukuran kecil berada di sebelah kiri. Kedua bangunan itu tampaknya belum terlalu lama didirikan. Deret batu di bagian bawah yang berwarna kekuningan masih asli.

Menurut salah satu sumber menyebut bahwa batu-batu itu merupakan pondasi sebuah candi dari jaman Kerajaan Kediri, sedangkan yang dibagian atasnya merupakan susunan batu yang ditata kemudian.

Konon di atas pondasi candi itu sempat akan dibangun sebuah masjid oleh para wali. Namun karena alasan yang tidak diketahui, pembangunan masjid itu tidak jadi dilaksanakan. Materialnya konon kemudian digunakan untuk membantu menyelesaikan pembangunan Masjid Agung Demak, dan Masjid Sang Cipta Rasa peninggalan Sunan Kalijaga di Cirebon.

Area di atas pondasi itu sempat difungsikan sebagai sarana prasarana ibadah, dan tempat pertemuan para wali. Menurut cerita, wilayah Kediri dibagai dalam dua kelompok oleh para wali. Di Barat sungai di pimpin oleh Sunan Bonang, sedangkan di sebelah Timur sungai dipimpin oleh Sunan Kali Jogo, yang di dalamnya termasuk mbah Wasil yang berasal dari Istambul. 

Masjid Setono Gedong memiliki serambi yang cukup luas. Tiang-tiang penyangga serambi masjid masing-masing dihiasi lafal “Allah” di bagian ujungnya. Selain itu, di tembok serambi atau di atas pintu masuk ruang utama masjid terdapat ukiran-ukiran menggunakan huruf arab yang membentang dari selatan hingga utara serambi. Hiasan ukiran memanjang dan ramai pada dinding serambi yang mengingatkan kita pada tulisan-tulisan huruf cina berupa mantra yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dan ditempatkan di dinding kuil-kuil Cina. 

Pada bagian pojok timur laut serambi terdapat satu kentongan berposisi vertikal ditopang kayu menyilang dan satu kentongan yang digantung berjajar dengan bedug. Pada kentongan yang ditempatkan dalam posisi tergantung terdapat ukiran tanggal dibuatnya yaitu 17 April 1986, maka sekarang usia dari kentongan tersebut sudah 30 tahun. 

Di sebelah kiri terdapat bangunan joglo kecil yang terdapat relief Burung Garuda di situs Setono Gedong, yang dipahat pada sisi sebuah batu persegi yang bagian atasnya berbentuk bunga teratai yang bulat dan gemuk di tengah berhias garis-garis lengkung, dengan bagian atas rata. Relief Garuda itu ternyata dipahat pada keempat sisi batu di situs Setono Gedong ini. Dalam kepercayaan Hindu, Garuda adalah burung tunggangan Dewa Wisnu. Di sebuah area di situs Setono Gedong ada sebentuk batu yang menyerupai mangkuk besar yang rata permukaannya, diletakkan di atas umpak yang ornamennya sudah tidak begitu kentara lagi.

Jika diperhatikan, batu yang menumpang di sebelah kiri atas batu memanjang, memiliki ukiran relief manusia duduk bersila, jari-jari tangan menangkup, sebatas dada, tanpa kepala. Relief yang lazim di candi. Pendopo situs ini tanpa dinding, dengan atap susun tiga, yang disangga lima baris pilar kayu yang masing-masing berjumlah enam buah.

Setono Gedong merupakan situs yang menarik untuk dikunjungi, meskipun di dalamnya menyimpan banyak misteri. Tidak ada prasasti bertulis yang ditemukan di sekitar situs Setono Gedong ini yang bisa mengungkap riwayatnya. Hanya ada relief Garuda dan serakan sisa batu candi, serta cerita yang memberi gambaran samar mengenai riwayat situs Setono Gedong ini.

Di sebelah utara masjid, terdapat komplek makam kuno. Karena malam, perlu kejelian dalam melihat batu nisan yang terdapat dalam makam tersebut. Ada banyak makam yang bergelar raden. Juga ada beberapa makam yang dipugar dengan dikelilingi dinding. Komplek makam terbesar adalah makam Syaikh Wasil Syamsuddin yang sudah ramai oleh pengunjung.

Karena bertepatan dengan malam Jumat, sekitar pukul sebelas malam para pengunjung lebih ramai. Menurut penduduk setempat, malam itu sedang ada dzikrul Ghofilin yang dilakukan rutin oleh warga Kediri, dan dipimpin langsung Gus Sabuth putra Gus Miek, KH Imam Jazuli.

Sebelum pukul 23:00 tiba, di sebelah utara makam, ada beberapa warung kopi yang buka. Ada banyak pedagang yang menjanjakan aneka kebutuhan peziarah. Sementara di sebelah timur pasar, ada panggung kecil yang sedang menampilkan alunan musik klasik modern sebagaimana Grup Kiai Kanjeng. 

Rizal Mubit, Editor Jurnal KontemplasiPengajar MA Mambaus Sholihin, Gresik Jawa Timur


Terkait