Pada suatu ketika Syeh Maulana Maghribi pergi ke tanah Jawa, untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Bertahun-tahun beliau di tanah Jawa, tanpa memberi kabar istrinya. Karena rindu kepada ayahnya, setiap malam Abdurrahman selalu menangis.
Nyai Samsiyah kebingungan melihat putranya itu, maka beliau bertekad menyusul suaminya ke tanah Jawa. Dengan menumpang kapal layar, berangkatlah Nyi Samsiyah bersama putranya menuju tanah Jawa. Turunlah Nyi Samsiyah bersama putranya di pelabuhan Cirebon, kemudian dicari rumah penduduk untuk tempat menginap.
Ditempat yang baru itu Nyi Samsiyah kebingungan mencari keberadaan suaminya. Karena takut meneruskan perjalanan, beliau memutuskan sementara tinggal di Cirebon. Kemudian Nyi Samsiyah melanjutkan perjalanannya menuju Demak.
Selama berada di Demak, mereka diberi tugas menanak nasi untuk makan para santri yang bekerja membuat masjid. Sedangkan Abdurrahman diberi tugas mengumpulkan kayu tatal, yang digunakan untuk menanak nasi.
Sunan Kalijaga tertarik melihat ketekunan ibu dan anak itu, dalam bekerja, menyediakan makanan bagi para pekerja.
Juga melihat sorot mata Abdurrahman, Sunan Kalijaga tahu bahwa anak itu memiliki suatu kelebihan. Karena itu beliau ingin mencoba, sampai di mana ketekunan Abdurrahman melaksanakan tugas yang diberikan. Beliau kemudian memberi tugas Abdurrahman untuk memukul bende (bedug), tanda para santri harus melaksanakan sholat atau istirahat.
Ternyata dalam memukul bende dia tidak menggunakan kayu, tetapi hanya menggunakan kepalan tangan (bahasa Jawa : diganjur). Walau menggunakan kepalan tangan, tetapi suaranya dapat terdengar sampai jauh. Dengan kelebihan itu, Abdurrahman diberi nama julukan Ganjur.
Syaikh Abdurrahman Ganjur dalam beberapa cerita riwayat disebutkan pernah diamanahi sebagai Marbot Masjid Agung Demak dan yang merawat Mas Karebet/Joko Tingkir/Sultan Hadiwijoyo ketika awal berkhidmat di Kesultanan Demak.
menurut cerita tutur para sesepuh Ngroto, Julukan Ganjur selain yg diceritan diatas, diberikan oleh para wali songo ketika Abdurrahman muda ikut membantu membangun Masjid Demak.
Dalam pembangunan Masjid Demak ketika akan memasang mustoko masjid, tidak ada yang bisa memasang. Oleh para wali yang di wakili oleh Sunan Kalijogo memerintahkan Abdurrahman muda untuk memasang. Dengan keistimewaan yang dimiliki, Syaikh Abdurrahman akhirnya berhasil memasang mustoko dengan menggunakan tangan kosong. Beliau memasukkan purus yg ada di mustoko dengan cara memukul dengan tangan, sampai akhirnya Beliau mendapat julukan Abdurrahman Ganjur Godomustoko.
Mantan Ketua Umum PBNU Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak kecil memang sudah menyukai ziarah kubur, katanya, orang yang sudah meninggal memang tidak ada kepentingan. Begitu juga makam yang belum diketahui orang kemudian oleh Gusdur diziarahi setelah itu baru ramai, beberapa menyikap makam-makam wali.
Pernah juga setelah selesai pengajian di Demak Gus Dur ziarah ke mbah Ganjur, dari setengah 2 sampai subuh tidak ketemu, kemudian pulang karena belum diizini. Yang kedua Gus Dur datang lagi makamnya pas banjir, sampai di sana jembatannya hanyut.
Yang ketiga pas ada acara di semarang baru bisa ziarah. Mbah Ganjur adalah pemimpin pasukan Demak, yang dipasrahi Raden Fatah untuk memimpin pasukan Demak untuk menyerang mojopahit sebetulnya, tapi begitu konsultasi ke mbah Ampel dilarang, karena kesannya jelek, anak nyerang orang tua. Menurut mbah Ampel, majapahit itu akan runtuh dari dalam.
Terdapatnya bangunan masjid kuno dan makam Abdurrahman Ganjur Godho Mustoko atau lebih dikenal dengan nama Simbah Ganjur di Desa Ngroto, Gubug, Grobogan menjadi salah satu bukti nilai sejarah syiar agama Islam di kabupaten tersebut.
Selain sebagai tempat dimakamkannya salah satu tokoh agama Islam di masa Walisongo tersebut, Desa Ngroto juga merupakan tempat dimakamkannya Simbah Gareng yang menurut tokoh masyarakat setempat merupakan kakek dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari.
Menurut Heru Wardono yang akrab disapa Mbah Bejo, seorang pemerhati sejarah dan budaya Kabupaten Grobogan, Gus Dur adalah keturunan dari Mbah Khoiron. Konon dulu, ada salah satu santri di Pondok Pesatren Ngroto yang dipimpin Kiai Siradjudin, yang bernama Khoiron. Setelah tamat mengaji, dia menjadi kiai di Ngroto juga. Karena badannya kecil dan pendek, dia mendapat julukan Mbah Gareng.
Kiai Khoiron mempunyai 2 anak laki-laki, yang bernama Asy’ari dan Asngari. Asy’ari menambah ilmu agama di Jombang, Jawa Timur, menjadi Kyai dan berkeluarga di sana. Kiai Asy’ari menurunkan KH Hasyim Asy’ari pendiri Nadlathul Ulama. Hasyim Asy’ari menurunkan KH Wahid Hasyim, Menteri Agama Pertama Republik Indonesia, yang merupakan ayah dari Presiden ke 4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid yang juga disapa Gus Dur.
Sedangkan Asngari, yang tetap tinggal di Ngroto, menurunkan Baedlowi (Kades Ngroto pertama). Baedlowi menurunkan Sukemi, dan Sukemi menurunkan Zuhri (Mbah Zuhri Kuwaron). “Di saat Gus Dur menjabat Presiden, beliau bersama wakilnya Megawati, pada tahun 2002 pernah datang ke Desa Ngroto“, kata Mbah Bejo yang didampingi juru kunci makam.
Sedangkan Asyngari menurunkan Baedlowi, Baedlowi menu-runkan Sukemi, dan Sukemi menurunkan Zuhri (Kuwaron). Dengan demikian jelas kalau Kiai Khoiron (dimakamkan di Ngroto), adalah buyut dari Gus Dur.
Hari ini, di Komplek Pemakaman Mbah Ganjur sdang berlangsung perhelatan Konferwil XV NU Jawa Tengah untuk memilih Rais dan Ketua untuk masa lima tahun yang akan datang. Semoga pemilihan tempat di samping untuk mengingatkan kembali sejarah perjuangan Mbah Ganjur, sekaligus sebagai tonggak sejarah keberlangsungan Nahdlatul Ulama khususnya di Jawa Tengah. Dan semoga pula hasil-hasil yang diputuskan dalam konferwil hari ini membawa kemaslahatan dan kesejahteraan NU sebagai jam'iyyah dan nahdliyyin sebagai jama'ah. (*)
*Abdul Muiz, dari berbagai sumber