Fragmen

7 Kepribadian NU: dari Sembilan Kebangkitan hingga Pembimbing Generasi Penerus

Senin, 30 Juni 2025 | 08:12 WIB

7 Kepribadian NU: dari Sembilan Kebangkitan hingga Pembimbing Generasi Penerus

Ilustrasi Nahdlatul Ulama (Foto: NU Online)

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tidak hanya memiliki peran historis dalam perjuangan bangsa, tetapi juga mengusung kepribadian yang khas dan kaya makna yang digambarkan dalam 7 khaslah (perkara) Kepribadian NU. Istilah ini penulis kenal pertama kali dalam buku Ke-NU-an (buku pertama) yang diterbitkan oleh Pengurus Wilayah Ma'arif NU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 1981.


Adapun Kepribadian NU dalam buku yang dibuka dengan pengantar dari Rais PWNU DIY pada masa itu, KH Ali Maksum, meliputi: 1. NU Sebagai perwujudan tis'u nahadlat atau sembilan kebangkitan, 2. NU sebagai  pengawal syariat Islam secara murni, 3. NU sebagai pelembagaan ide ulama, 4. NU sebagai kekuatan spiritual, 5. NU sebagai pembawa kemajuan, 6. NU sebagai organisasi perjuangan, dan 7. NU sebagai pembimbing generasi penerus.

 

Berikut kepribadian NU yang tergambar dalam 7 hal tersebut:


1. Khaslah Pertama: NU sebagai Perwujudan Tis’u Nahadlat

Tis'u Nahadlat atau sembilan kebangkitan, menjadi landasan awal yang menggambarkan kepribadian NU. Sembilan kebangkitan tersebut yakni nahdlah syar'iyah (kebangkitan syariat Islam), nahdlah ilmiyah (kebangkitan ilmu pengetahuan), nahdlah tarbiyah (kebangkitan pendidikan), nahdlah khuluqiyah (kebangkitan akhlak yang terpuji), nahdlah akhawiyah (kebangkitan persaudaraan), nahdlah ta'awuniyah (kebangkitan untuk tolong menolong), nahdlah ijtima'iyah (kebangkitan kemasyarakatan), nahdlah iqtishadiyah (kebangkitan perekonomian yang baik), dan nahdlah umraniyah (kebangkitan pembangunan kemajuan).


Sembilan kebangkitan ini merepresentasikan gagasan, cita-cita dan tujuan berdirinya NU, yang diprakarsai oleh para ulama. Maka, pengurus dan anggota NU mesti tahu perkara awal dalam kepribadian NU ini. Supaya tidak gagal paham dalam berorganisasi dan berjuang di dalam wadah NU.


Setiap aspek kebangkitan ini menunjukkan bahwa NU tidak dibangun hanya sebagai gerakan keagamaan, tetapi sebagai gerakan peradaban. Ia menyentuh ranah intelektual, sosial, ekonomi, politik, dan spiritual, menjadikannya organisasi yang holistik. NU lahir bukan sekadar untuk mempertahankan tradisi, melainkan sebagai jalan kebangkitan umat yang dinamis dan visioner.


2. Khaslah Kedua: NU sebagai Pengawal Syariat Islam

Sebagai penjaga warisan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), NU menekankan pentingnya penerapan syariat secara kontekstual, moderat, dan sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan. NU tidak memahami syariat sebagai hukum yang kaku dan tekstual semata, melainkan sebagai jalan menuju kemaslahatan umat.


Melalui forum-forum ilmiah seperti bahtsul masail, NU melakukan ijtihad kolektif terhadap isu-isu kontemporer, dari masalah ekonomi syariah, ekologi, hingga perkembangan teknologi digital, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip maqashid syariah.


Dengan manhaj fikih dari empat mazhab, NU mampu menghadirkan wajah Islam yang damai, toleran, dan membumi. NU juga aktif menolak radikalisme dan ekstremisme atas nama agama, karena paham bahwa syariat harus menjadi rahmat, bukan alat pemecah belah.


Sebagai pengawal syariat, NU terus menjaga agar ajaran Islam tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil, bijaksana, dan relevan dengan dinamika zaman. Inilah wajah Islam Nusantara: religius, toleran, dan solutif bagi peradaban.


3. Khaslah ketiga: NU sebagai Pelembagaan Ide Ulama

NU tidak hanya organisasi massa, tetapi juga laboratorium pemikiran para ulama. Ia menjadi sarana pelembagaan gagasan serta wadah pelembagaan ide-ide besar para ulama. Sejak berdiri pada 1926, NU menjadi ruang kolektif bagi para kiai dan cendekiawan Islam untuk merumuskan gagasan keagamaan yang relevan dengan kebutuhan umat dan tantangan zaman.


Gagasan besar seperti Islam Nusantara, fiqih sosial, hingga pembaruan pemikiran keagamaan tumbuh dari rahim NU. Melalui forum-forum resmi seperti Muktamar, Musyawarah Nasional, dan Bahtsul Masail, NU memberikan ruang konstitusional bagi ide ulama untuk menjadi panduan umat. Hal ini penting karena dalam sejarah Islam, tidak semua pemikiran ulama terinstitusionalisasi secara berkelanjutan. NU berhasil menjembatani antara tradisi keilmuan klasik dan dinamika zaman, menjadikan ilmu agama tetap hidup dan relevan.


NU memformulasikan pandangan keagamaan yang berakar pada khazanah klasik (turats), namun tetap terbuka terhadap perubahan sosial. Dengan pendekatan ini, pemikiran ulama tidak hanya berhenti sebagai diskursus pribadi, tetapi dikodifikasikan menjadi panduan yang mengikat secara moral dan sosial bagi warga NU.


4. Khaslah Keempat: NU sebagai Kekuatan Spiritual

NU merupakan kekuatan spiritual yang membumi dan hidup di tengah masyarakat. Berakar pada tradisi tasawuf yang berlandaskan akidah Aswaja An-Nahdliyah, NU tidak hanya menjadikan agama sebagai sistem hukum atau doktrin, tetapi juga sebagai energi rohani yang menuntun kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, spiritualitas NU tidak bersifat eksklusif atau individualistik, melainkan sosial dan inklusif.


Tradisi-tradisi seperti tahlilan, yasinan, manaqiban, istighotsah, hingga peringatan haul ulama, merupakan bentuk ekspresi keagamaan warga NU. Praktik-praktik ini tidak hanya memperkuat hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga mempererat solidaritas sosial antarumat. NU memandang bahwa kekuatan spiritual umat harus dibina secara terus-menerus agar mampu menjadi benteng dari arus materialisme, hedonisme, dan kekosongan makna hidup yang kini semakin merajalela.


Kekuatan spiritual NU terbukti mampu menciptakan ketahanan budaya dan moral di tengah krisis nilai. Di saat masyarakat dilanda kegelisahan identitas dan kemunduran etika, NU menawarkan spiritualitas yang membimbing, menenangkan, dan menumbuhkan harapan. Inilah kontribusi nyata NU sebagai kekuatan spiritual yang bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk seluruh bangsa Indonesia.


5. Khaslah Kelima: NU sebagai Pembawa Kemajuan

Salah satu tuduhan yang sering dialamatkan kepada NU adalah konservatisme. Namun, realitasnya, NU justru merupakan pembawa kemajuan dengan pendekatan yang khas: progresivisme berbasis tradisi. NU sadar bahwa perubahan zaman menuntut keterlibatan aktif, bukan sekadar adaptasi pasif.


NU terus mendorong kemajuan dalam pendidikan, ekonomi, teknologi, dan sosial. Lahirnya Lembaga Pendidikan Ma’arif, Universitas Nahdlatul Ulama, hingga keterlibatan aktif dalam teknologi digital menunjukkan NU tidak anti-modernitas. Bahkan, semangat “Islam berkemajuan” justru telah lama hidup dalam NU, dengan spirit memadukan ilmu agama dan ilmu dunia.


6. Khaslah Keenam: NU sebagai Organisasi Perjuangan

Sejarah mencatat peran besar NU dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 adalah salah satu bukti nyata peran strategis NU dalam mempertahankan kedaulatan negara. Selain itu, tentu masih banyak lagi kiprah NU bagi bangsa ini. Dalam perjalanan bangsa, NU tak pernah lepas dari arus perjuangan, baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun sosial.


Namun, perjuangan NU tidak berhenti pada masa revolusi fisik. Dalam era kemerdekaan, NU terus memperjuangkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui jalur pendidikan, dakwah, sosial, dan politik, NU berperan menjaga moralitas publik, keadilan sosial, serta moderasi beragama.


NU juga aktif dalam mengadvokasi isu-isu strategis seperti keadilan ekonomi, penanggulangan radikalisme, serta penguatan demokrasi. Dalam arena sosial-politik, NU memainkan peran penting sebagai kekuatan sipil yang tidak larut dalam politik praktis, tetapi tetap memberikan pengaruh moral yang kuat terhadap kebijakan publik.


Dengan jutaan pengikut dan jaringan pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, NU mampu menyuarakan aspirasi rakyat kecil yang seringkali terpinggirkan. NU tidak pernah memisahkan antara perjuangan spiritual dan perjuangan sosial. Keduanya berjalan seiring sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan bangsa.


7. Khaslah Ketujuh: NU sebagai Pembimbing Generasi Penerus

Bagian terakhir, tapi tidak kalah penting dari kepribadian NU, yakni sebagai pembimbing generasi penerus. Organisasi otonom seperti IPNU, IPPNU, PMII, Fatayat, dan GP Ansor menjadi wadah kaderisasi yang berjenjang dan sistematis. Di sinilah NU mencetak kader yang tidak hanya paham agama, tetapi juga memiliki kapasitas intelektual, sosial, dan kepemimpinan.


Pengembangan generasi penerus atau kaum muda ini, tentu senada dengan yang disampaikan Allahyarham KH Achmad Shiddiq. Dalam Pedoman Berpikir NU Al Fikrah An Nahdliyah yang diterbitkan PC PMII Jember tahun 1969, ia menjelaskan angkatan muda menjadi salah satu bagian dari kelompok yang dapat menjadi pendukung NU dari sisi materiil.


Untuk pendukung secara materiil, NU memiliki setidaknya membutuhkan dukungan dari empat kelompok, yakni ulama, umat, angkatan muda, dan karyawan. Keempat kelompok ini mesti berjalan dengan sinergis.


Ajie Najmuddin, Pengurus Lakpesdam PCNU Boyolali