Kudus, NU Online
Kegagalan kaum perempuan dalam politik lebih banyak dipengaruhi oleh adat dan stigma budaya yang menempatkan posisi perempuan bukan sebagai pemimpin publik.<>
Demikian disampaikan guru besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Dr. Irwan Abdullah dalam seminar nasioanal "Politisasi Gender dan hak-hak perempuan" yang diselenggarakan Pusat Studi Gender (PSG) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Rabu (12/11).
Menurut Irwan, catatan historis di Indonesia telah memperlihatkan basis-basis budaya politik yang memberi ruang yang luas bagi peran perempuan. Namun demikian, basis historis kurang mendapat artikulasi dalam wacana publik.
"Wacana publik lebih didasarkan pada adat dan stigma budaya. Terlebih lagi agama turut melegitimasi stigma ketika agama pun diterjemahkan secara sempit," tandasnya di depan peserta seminar dari kalangan dosen, aktivis ormas wanita dan pegiat gender.
Ia mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhori bahwa tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita. Dalam al Qur'an surat An-Nisa, kutip Irwan, ditegaskan kaum laki-laki adalah pemimpin dari kaum perempuan.
"Dua dasar ini tidak saja menjadi sumber pengetahuan tetapi juga menjadi sumber bagi penataan nilai dan tingkah laku dalam masyarakat. Bahkan kretria siapa yang berhak jadi pemimpin salah satunya secara eksplisit disebutkan adalah laki-laki," terangnya.
Dikatakan, basis agama dengan pemikiran semacam ini serta adat di berbagai masyarakat telah menjadi sumber delegitimasi keterlibatan perempian dalam politik. Tidak jarang, ujar dia, muncul stigma bahwa perempuan tidak pantas memimpin karena dia adalah ibu rumah tangga. Jika pun dia bekerja maka akan ditanggapi sebagai pekerja keluarga, bukan profesional sehingga upahpun dibayar secara kekeluargaan.
"Stigma yang tidak produktif ini terjadi secara meluas yang menjadi landasan bagi praktik sosial. Kodrat perempuan sebagai ibu rumah tangga mendapat tekanan berlebihan dan bahkan direproduksi di dalam sosial secara terus menerus," ujar Guru besar jurusan Antropologi Fakultas Imu Budaya UGM Yogyakarta.
Stigma lainnya, Irwan memaparkan perempuan dikatakan sebagai ibu dan istri yang baik sehingga hal ini tidak cocok berada dalam ranah politik. Tidak jarang mendengar dari kaum perempuan sendiri bahwa mereka tidak mendukung calon perempuan karena tidak sesuai dengan konsepsi mereka yang menegaskan bahwa "pemimpin itu laki-laki".
"Hal ini memperlihatkan di kalangan perempuan sendiri terdapat persoalan mendasar yang masih beranggapan sudah sepatutnya laki-laki dan perempuan membagi tanggung jawab domestik publik. Dari sini,pendewasaan perlu dilakukan pada kalangan permpuan selain laki-laki," katanya.
Disamping alasan stigma, menurut Irwan, kegagalan perempuan di politik juga dikarenakan perempuan hanya dijadikan alat pemanis politik untuk menarik massa pemilih. Begitupula lemahnya tindakan afirmatif yang dilakukan oleh para pihak yang menjadi kondisi bagi lemahnya posisi perempuan dalam politik.
Seminar yang digelar di ruang rektoriat STAIN Kudus ini menghadirkan juga pembicara Jauharatul farida (aktivis Pusat Studi Gender dan anak IAIN Walisong Semarang) dan Nur Said (ketua PSG STAIN Kudus).(Qomarul Adib/Anam)