Banda Aceh, NU Online
Pencarian korban tenggelamnya rakit penyeberangan di Krueng/sungai Peuto di kawasan Teupien Peuraho, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara secara resmi dihentikan menyusul ditemukannya korban terakhir yang juga telah menjadi mayat. Dengan ditemukannya jenazah Maulina (Mona), maka kelima korban dari musibah itu sudah didapat. Jasad Mona ditemukan sekitar 6,5 km dari lokasi musibah.
Camat Lhoksukon, Hasanuddin S.Sos kepada Wartawan mengatakan, jenazah Mona, siswa kelas II SLTP Muhammadiyah Lhoksukon, ditemukan Senin malam sekitar pukul 23.30 WIB. Dengan temuan terakhir itu, secara resmi upaya pencarian yang dimulai Sabtu (13/12) pagi dihentikan. Semua jenazah yang ditemukan sudah sulit dikenali sebab mulai membengkak. Keadaan ini sempat menyebabkan orangtua Mona mengira salah satu dari empat korban yang ditemukan lebih dulu, adalah anaknya.
<>Menurut kesaksian warga setempat, mayat pertama yang disangka Mona adalah Sarmina. Sedangkan janazah kedua yang sempat dibawa ke rumah Mona adalah Nurfalita yang ditemukan pukul 14.30 WIB di Desa Lueng Baro, berjarak 3,5 kilometer dari titik tenggelam. Keraguan tersebut terjadi karena ada amanah dari keluarga (ibu) Maulina, jika anaknya ditemukan jangan dibuka di tepi sungai dan jangan dilihat oleh orang lain. Amanah tersebut disampaikan pada keluarganya yang lain, sehingga keluarga yang ditugaskan untuk melihat di tepi sungai tak kenal betul dengan wajah Mona.
Ketika mayat Nurfalita ditemukan pukul 14.30 WIB, Senin (15/12), salah seorang laki-laki berteriak dari tepi sungai, bahwa jenazah yang diangkat itu adalah Mona. Masyarakat langsung mengusung jasad kaku itu ke rumah duka. Tetapi ketika dilihat oleh ibunya, langsung dipastikan itu bukan putrinya. "Nyoe kon sinyak lon, sinyak lon hantom dipakek taloe takue (ini bukan anak saya, sebab anak saya nggak pernah pakai kalung)," kata ibu Mona.
Mona merupakan salah satu korban yang paling akhir hilang ditelan sungai. Bahkan beberapa orang sempat melihat tubuh Mona bergelut dengan maut diseret arus. Namun, teman-temannya tak dapat memberikan bantuan dan akhirnya remaja itu hilang.
Sabtu lalu, rakit penyeberangan yang dikendalikan dengan seutas tali dan ditumpangi sebanyak 17 orang, tiba-tiba tenggelam setelah beberapa meter berlayar akibat diterjang arus deras Krueng Peuto yang sedang meluap. Lima orang di antaranya tenggelam dan akhirnya ditemukan tewas. Mereka adalah Nurjani (13), Nurul Aflah (13), Sarmina (14), Nur Falita (14), dan Maulina (13) yang ditemukan terakhir (Senin tengah malam).
Pencarian kelima korban dengan cara menyelam, menurut pengakuan beberapa anggota tim Satgas Muara, benar-benar sulit. Soalnya, air sungai Lhoksukon itu tidak dapat dilihat dengan mata. "Jangankan satu meter, dalam radius dua jengkal saja tidak terlihat benda dan harus meraba-raba. Sulit dan mengerikan," ungkap seorang personel Marinir yang terlibat dalam pencarian. Selain terbatasnya jarak pandang, arus sungai Lhoksukon juga sangat deras, mencapai antara 30 sampai 40 knot/jam di lapisan bawah dengan kedalaman sungai rata-rata tujuh meter. "Tingkat kesulitannya memang tergolong tinggi," kata anggota Satgas Muara yang dipimpin Lettu (Mar) Sitohang.
Dalam pencarian kelima siswa SLTP Lhoksukon itu, kata tim Satgas Muara, pihaknya nyaris kehilangan teknik. Bahkan beberapa unit boat karet pasukan Marinir melakukan aksi "disco" di tengah sungai yang arusnya tajam itu untuk menciptakan gelombang sungai. Teknik ini digunakan jika jenazah korban tersangkut atau tertimbun pasir bisa terlepas dan dibawa arus. Kenyataannya, pada Senin pagi sekitar pukul 07.00 WIB seorang di antara korban timbul ke permukaan air dalam posisi telungkup, dan selanjutnya satu persatu korban ditemukan.
Dikatakan, berdasarkan pengalaman yang ada, satu lagi korbannya tidak bisa timbul ke permukaan air, karena besar kemungkinan korban yang bernama Mona tersebut memakai ransel di punggung. Diperkirakan ranselnya tersangkut pada benda-benda di dasar sungai.(kd-mhr)