Daerah

Pusdak UNUSIA Soroti Divestasi Freeport

Rabu, 2 Mei 2018 | 09:00 WIB

Jakarta, NU Online
Target pemerintah Indonesia untuk menuntaskan divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) pada April 2018, terlewati lagi. Sama dengan target sebelumnya yang dijanjikan akan selesai Oktober 2017, Desember 2017, semua terlewati begitu saja. Proses divestasi ini terus berlarut-larut. Negosiasi yang berbelit-belit pun menyita waktu dan energi bangsa. 

Menanggapi hal ini, peneliti Pusat Pendidikan dan Kajian Anti Korupsi (Pusdak) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Roziqin Matlap menyayangkannya. “Sejak Freeport beroperasi di Indonesia hingga kini, belum ada yang berhasil menundukkannya. Dalam urusan divestasi, harusnya negara jangan kalah dengan korporasi” ujar Roziqin, Rabu (2/5).

Menurut Roziqin, sejak PTFI bercokol di Indonesia tahun 1967 hingga sekarang, saham Pemerintah di PTFI Indonesia masih saja sebesar 9,36%. Benar bahwa Pemerintah Indonesia pernah memiliki saham hingga sebesar 11,11 %, namun Pemerintahan Presiden Soeharto membiarkan saham Pemerintah terdilusi kembali menjadi sebesar 9,36%. 

Roziqin mengutip Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Tahun 2017, dengan kepemilikan saham Pemerintah Indonesia di PTFI sebesar 9,36%, Pemerintah Indonesia tidak mendapat pendapatan negara yang signifikan dari dividen. Misalnya untuk kurun 2012 s.d. 2014, Pemerintah Indonesia tidak memperoleh dividen padahal di kurun waktu tersebut penjualan mineral emas dari pertambangan Indonesia selalu menyumbang lebih dari 90% pendapatan bagi Freeport McMoran (FCX), induk PTFI.

Divestasi saham PTFI menjadi salah satu kewajiban perusahaan sebagaiman diatur dalam Kontrak Karya (KK) mengenai Promosi Kepentingan Nasional. Divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk kesempatan kepada peserta Indonesia agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Sehingga para pemodal asing wajib mengalihkan sebagian saham kepada peserta Indonesia yang terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional. 

Dalam KK Pasal 24 ayat (2a), (2b) dan (2c) tentang Promosi Kepentingan Nasional dijelaskan bahwa kewajiban untuk melakukan divestasi saham sebesar 51% paling lambat 20 tahun sejak penandatanganan KK atau pada 30 Desember 2011. "Sayang, hingga sekarang, divestasi pun belum kunjung terlaksana," keluhnya.

Roziqin berharap divestasi harus segera diselesaikan sebelum tahun 2019 yang merupakan tahun politik dimana konsentrasi bangsa banyak tercurah untuk urusan pemilihan umum. Terlebih, divestasi yang berlarut-larut akan menjadi beban pemerintahan hasil pemilu nanti.

“Divestasi 51% akan menandai tegaknya kedaulatan di bidang sumber daya alam. Prosesnya harus transparan dan akuntabel,” tegas Roziqin. (Red: Ibnu Nawawi)



Terkait