Pandeglang, NU Online
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pandeglang, Senin (12/9) mengelar aksi unjuk rasa di depan kantor Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pasar (Disperindagpas) Pandeglang.
Para mahasiswa mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pandeglang segera memanggil oknum pejabat di Disperindagpas atas ketidakjelasan biaya Hak Penggunaan Guna Tempat Usaha (HPGTU) yang dibebankan kepada para pedagang, menyusul rencana pembangunan pasar Picung yang didanai dari APBN tahun 2011.
<>
“Kami minta Bupati Pandeglang, Erwan Kurtubi memanggil oknum pejabat Disperindagpas yang diduga bermain dalam proses pembangunan pasar Picung. Apalagi, di lapangan sejumlah pedagang mengaku resah atas adanya penerapan biaya HPGTU sebesar Rp500 ribu per kios,” beber kooordiantor aksi Nuhda Algozal dalam orasinya.
Menurutnya, pungutan sebesar Rp500 ribu kepada para pedagang atas HPGTU jelas sangat memberatkan dan tidak mendasar. Pasalnya, selama ini para pedagang yang menempati kios tersebut masih terikat kontrak selama 20 tahun senilai Rp9 juta.
“Selama 20 tahun itu, para pedagang setiap bulannya membayar uang sewa sebesar Rp10.000. Ironisnya, setelah ada rencana pembangunan pasar Picung, tiba-tiba keluar surat edaran dari Disperindagpas soal adanya pungutan itu,” jelasnya.
Kejanggalan atas biaya yang dibebankan kepada para pedagang itu tandas orator lainnya, Entis, bisa dilihat dari alasan Disperindagpas yang menyatakan, biaya Rp500 ribu itu untuk pantia di desa yang telah ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah dari para pedagang.
“Sejauh ini para pedagang tidak pernah diajak musyawarah oleh pihak Disperindagpas atau panitia. Terlebih, sejauh ini pedagang masih terikat kontrak, sehingga sangat ganjil jika pedagang harus membayar biaya lagi,” tandanya.
Selain itu katanya, para pedagang juga mengaku resah dengan adanya pengurangan jumlah kios dari jumlah toko. Dari 108 kios kini hanya menjadi 84 kios. Dengan demikian kata dia, sekitar 24 pedagang kini terancam kehilangan mata pencahariannya. “Para pedagang kan masih terikat kontrak, atau ada sisa tujuh tahun lagi untuk menempati kiosnya. Jadi mereka masih memiliki hak untuk melanjutkan usahannya sesuai perjanjian dalam kontrak itu. Melihat kerancuan-kerancuan ini, kami menilai Disperindagpas tidak mampu mengelola PAD yang tahun 2011 ditetapkan sebesar Rp600 juta,” paparnya.
Sementara itu beberapa pedagang mengeluhkan adanya pungutan sebesar Rp500 ribu per kios dengan alasan untuk tanda jadi kepemilikan kios di pasar Picung. Jika pedagang tidak mambayar uang sebesar itu, maka tidak akan mendapat jatah kios. Kepala Disperindagpas Pandeglang, Tb Apang Syafruddin membantah bahwa kutipan itu sebagai pungutan liar. Menurutnya, uang sebesar itu merupakan hasil dari kesepakatan antara pedagang dengan panitia di desa. “Itupun musyawarahnya disaksikan unsur Muspika,” pungkasnya.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Candra Zaini