Yogyakarta, NU Online
Barisan pemuda dan pecinta budaya yang tergabung dalam Foris (Forum Pemuda Peduli Keistimewaan DIY), menggelar aksi damai di kawasan titik nol kilometer, Yogyakarta, Senin sore (6/5) kemarin.<>
Sedikit berbeda dengan aksi demonstrasi pada umumnya, kali ini massa menggelar aksi dengan mengenakan pakaian tradisional; kebaya dan blangkon. Juga diiringi dengan alunan musik tradisional dan lenggokan para penari tradisional. Tak hanya itu, massa aksi juga membentangkan seluruh foto para sultan kraton Jogja yang terbingkai dalam figura, dari sultan pertama hingga sekarang.
Muhammad Abduh Zulfikar, selaku koordinator umum memaparkan, bahwasannya ada empat hal utama yang menjadi tuntutan dan pernyataan sikap dari Foris. Empat hal itu seluruhnya mengajak para kawula muda untuk:
Pertama, tetap mengingat bahwa kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat adalah penerus kerajaan mataram Islam Jawa yang toleran dan plural.
Kedua, menghargai nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendiri kasultanan.
Ketiga, menuntut dan memastikan untuk dimasukkannya gelar lengkap sultan, yaitu “Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ing Ngayogyakarta Hadiningrat”, ke dalam Perdais (Peraturan Daerah Istimewa) DIY, berikut penjelasannya. Karena hal itu merupakan sumber inspirasi, motivasi, dan pedoman bagi seluruh kawula muda dalam mengisi dan mewarnai keistimewaan DIY.
Keempat, menolak dan melawan upaya-upaya yang mengebiri gelar sultan dan membelakangi para leluhur, dengan tidak mencantumkan secara lengkap gelar sultan maupun dengan menyembunyikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya kepada publik.
“Gelar dipotong, berarti hianat terhadap para leluhur”, tandas mahasiswa Universitas Gadjah Mada tersebut.
Sementara itu menurut salah satu massa aksi, Kadi yang berasal dari Pondok Pesantren Kaliopak Piyungan, Sleman, mengatakan bahwa memang sudah seharusnya para kawula muda mempertahankan ini, karena para leluhur membangunnya dengan kekuatan batin dan budaya yang tidak bisa diremehkan. Hal itu juga yang menjadikan Indonesia kaya akan budaya.
“Pertahankan budaya dan sejarah Jogja! Karena itu merupakan roh bangsa”, tegas Bapak berkepala enam yang mengenalkan dirinya sebagai relawan budaya pada sore itu.
Aksi damai tersebut berakhir pada pukul 17.00 WIB, dan ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, serta berjalan menuju kantor DPRD DIY guna menyampaikan aspirasi kepada para anggota dewan.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’