Sumenep, NU Online
Tangan sebelah kiri memegang secarik kertas berwarna putih, tangan sebelah kanan memegang sebuah bulpen. Di atas kertas kosong tersebut puluhan peserta halaqah kewirausahaan menorehkan sebuah lingkaran dan sebuah titik. Yang membedakan antar peserta adalah peletakan titik. Ada yang meletakkan di dalam lingkaran, dan ada pula yang menaruh titik di luar lingkaran.<>
Pemandangan itu terlihat pada peserta halaqah kewirausahaan dengan tema “Membangun Jiwa Entrepreneur Berdasarkan Sumber Daya Lokal” setelah motivator nasional dari Entrepreneur College, A. Khairussalim Ikhs memberikan instruksi kepada peserta di Gedung PCNU Sumenep, 2 November 2012 lalu.
Setelah semua peserta melaksanakan instruksi tersebut, Khairussalim, panggilan akrabnya, menjelaskan maksud dari perintah untuk menggambar tersebut. Latihan-latihan semacam itu sering ia lakukan untuk menguji nyali berbisnis peserta.
“Yang meletakkan titik dalam lingkaran maunya hanya di zona aman. Tidak punya keberanian menaklukkan tentangan. Kita harus mengubah mindset itu. Kalau perlu letakkan titik itu di kepala, lingkarannya di atas kertas,” katanya, seraya disambut tepuk tangan dan tertawa peserta halaqah.
Menurutnya, menjalankan bisnis sama halnya melakukan sesuatu di zona yang tidak aman. Di dalam bisnis banyak sekali tantangan. Setiap saat dituntut untuk selalu berfikir. Seorang pengusaha lebih banyak menggunakan otak kanan ketimbang otak kiri.
“Otak kanan otak pengusaha, otak kiri otak karyawan. Tinggal dipilih, mau berpendapatan tetap tetap atau tetap berpendapatan?” tanyanya kepada peserta.
Indonesia masih kekurangan pengusaha sehingga banyak orang yang tidak mandiri. Ia memperlihatkan Sakrenas, BPS tahun 2004 yang menunjukkan pendidikan seseorang semakin tinggi ketindakmandiriannya semakin tinggi pula.
Sebagai ilustrasi, sarjana yang pekerjaannya mandiri 5,85 persen, dan orang yang tidak tamat SD mencapai 20,8 pesen. Bandingkan, sarjana yang jadi karyawan 83,1 persen, dan orang yang tidak tamat SD 8,9 persen.
Pemahaman tentang bisnis yang perlu dibongkar, lanjutnya, tetang selisih harga. Ia mencontohkan, misalnya kulaan Rp. 10.000 harus dijual Rp. 12.000 atau lebih. Dalam bisnis yang terpenting bukan soal pintar membeli barang dengan murah lalu dijual dengan harga mahal.
“Yang terpenting dalam bisnis adalah mempunyai sistem bisnis yang baik. Bisnis besar mutlak bersama orang banyak. Dan perbudaan bisnis yang sukses dan tidak, terletak pada system, bukan produk,” jelasnya.
Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Sumenep dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT) Nuansa Umat Gapura.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontibutor: M. Kamil Akhyari