Jember, NU Online
Sisi spritualitas dalam kehidupan Raden Ayu (RA) Kartini, jarang diungkap. Padahal dia adalah sosok pejuang wanita yang punya perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Ia tidak hanya memperjuangkan kaum hawa agar bebas dari kungkungan keterbelakangan pendidikan umum, tapi juga bebas dari buta agama.
“Buktinya, RA Kartini meminta bantuan Kiai Sholeh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa,” papar Ning Aida Lutfiah, saat memberikan ceramah dalam aksi sosial di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Ahad (22/4).
Menurut istri Moch Eksan (anggota DPRD Jatim), kehidupan anak Bupati Jepara itu cukup relijius. RA Kartini lah yang pertama kali mendorong Kiai Sholeh Darat agar Al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Sebab, dia berpandangan bahwa membaca Al-Qur'an kurang berguna jika isinya tidak dipahami.
Persoalannya, waktu itu Belanda melarang Al-Quran diterjemahkan. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, maka terjemahan tersebut ditulis dengan huruf Arab pegon. Sehingga Belanda tetap mengira itu bukan terjemahan melainkan tulisan Arab biasa.
Kelak Al-Quran dan terjemahan tersebut diberi nama Tafsir Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Quran. itulah tafsir pertama di Nusantara dengan bahasa Jawa, menggunakan huruf Arab pegon,” ungkap alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo itu.
Tidak hanya itu, sisi religiusitas RA Kartini juga bisa ditelusuri dari surat-menyurat yang dia lakukan terhadap sejumlah sahabatnya. Dalam surat itu, RA Kartini kerap kali menyelipkan kalimat dari gelap kepada cahaya yang notabene merupakan potongaan dari Al-Qur'an ayat 257 surat Al-Baqarah.
Kumpulan surat-surat RA Kartini itu kemudian dikodifikasikan dengan judul Habis Gelap, Terbitlah Terang.
“Semoga sosok Kartini memberikan semangat dan inspirasi kepada kita para ibu untuk memberantas buta aksara Al-Qur'an,” harapnya. (Aryudi Abdul Razaq/Muiz).