Daerah

Newsletter Pelajar PAC IPNU-IPPNU Kadur Angkat Isu Pendidikan

Rabu, 25 Januari 2012 | 08:48 WIB

Pamekasan, NU Online
Baru-baru ini, PAC IPNU-IPPNU Kadur, Pamekasan menerbitkan Newsletter yang diberi nama Pelajar. Media massa volume I/I/Januari/2012, ini memang dari awal dicanangkan untuk disebarkan ke puluhan lembaga pendidikan yang terdapat di kecamatan Kadur. Tujuan utamanya ialah guna mengenalkan IPNU-IPPNU kepada para pelajar di kecamatan Kadur, di samping mengembangkan cakrawala pemikiran dan keilmuan mereka.<>

Menariknya, dari 4 halaman yang tersedia dikhususkan untuk mengangkat isu tentang pendidikan. Di rubrik Editorial, pemimpin redaksi Anam Al-Yumna mengulas tentang gagasannya tentang Sekolah Kepenulisan.

Sekolah Kepenulisan, dalam hematnya, tampaknya belum begitu dikenal oleh lembaga-lembaga pendidikan kita. Sekolah masih lebih bertendensi untuk menggiring siswa agar menguasai materi pelajaran saja. Sedangkan segala hal yang berkenaan dengan kepenulisan tak begitu dihiraukan. Kenyataan ini patut disayangkan mengingat dunia tulis-menulis tentu amat membantu terhadap masa depan siswa. Itulah yang menjadi pijakan sekolah-sekolah di Madura sehingga coba membangun kepedulian terhadap dunia tulis-menulis. Lahirlah kegiatan tulis-menulis yang dikemas dengan nama Sekolah Kepenulisan.

Al-Yumna lebih lanjut menjabarkan bahwa Sekolah Kepenulisan itu merupakan bagian dari kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Tak mesti menjadi materi khusus. Bisa dimasukkan ke dalam program kerja OSIS atau bisa juga ditangani langsung oleh guru bidang kesiswaan. Baiknya, lembaga memanfaatkan penulis yang memang sudah dikenal dan produktif berkarya untuk dijadikan fasilitator. Dari itulah nantinya siswa yang punya minat menulis semakin membulatkan tekadnya untuk belajar merangkai kata, melalui Sekolah Kepenulisan.

Tidak hanya itu, Al-Yumna juga menyatakan bahwa dalam Sekolah Kepenulisan mesti dibangun iklim membaca. Jangan sampai peserta dibuat menulis bebas secara terus-menerus. Sesekali mereka diwajibkan menulis dengan menyertakan catatan kaki (foot note). Referensinya tidak harus dituntut yang berasal dari buku-buku berat yang membutuhkan pembacaan mendalam guna memahaminya.

Di situlah, tegas Al-Yumna, tugas fasilitator ialah memberikan arahan tentang buku-buku yang penting dikonsumsi setiap hari. Dan perpustakaan sekolah menempati peran yang amat penting demi suksesnya kegiatan tersebut. Berkaitan dengan sumber inspirasi tulisan, sesekali peserta dibawa jalan-jalan ke tempat-tempat yang rindang dan menyejukkan. Bisa juga ke tempat-tempat ramai semisal pasar. Di tempat-tempat tersebut, peserta dilepas bebas untuk mengail ide.

Al-Yumna juga menekankan agar semangat menulis peserta mesti dijaga. Ketika ada peserta yang miskin ide atau gagasan, jangan sampai dianaktirikan. Kalau perlu ia mendapat perhatian yang lebih. Oleh karena itu, fasilitator harus selalu berusaha mencarikan inovasi-inovasi yang menunjang keberhasilan Sekolah Kepenulisan.Siswa Berkarya & Pendidikan Kesederhanaan

Sekretaris dan Ketua PAC IPNU Kadur, Fathorrahman dan Faisol Ansori, juga menuangkan gagasannya ke dalam Pelajar. Fathor mendedah judul “Merangsang Siswa Berkarya”. Sedangkan Faisol menekankan bahasannya pada upaya menghidupkan pendidikan kesederhanaan di sekolah.

Bagi Farhorrahman, Guru menulis di media massa merupakan hal yang biasa. Karya siswa tembus media massa, baru ini luar biasa. Dikatakan begitu, karena dari segi pengalaman tentu lebih luas guru ketimbang siswa. Kalau dianalogikan, siswa tak ubahnya tunas pohon yang masih bersandar pada batangnya, sedangkan guru adalah batang itu sendiri.

Lebih lanjut, Fathor menyatakan bahwa merupakan suatu kebanggaan ketika ada siswa yang senang berkarya, apalagi punya spirit tinggi ‘menyerbu’ media massa. Di samping siswa dan sekolah dapat menunjakkan bargaining position-nya sewaktu karya itu dimuat, hal terpenting lainnya ialah terbangunnya iklim kepenulisan atau kepengarangan di sekolah. Iklim tersebut amat berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam mengembangkan potensi dirinya.

Kongkretnya, tambah Farhorrahman, manakala ada satu karya siswa yang dimuat di media massa tentu akan berdampak positif terhadap siswa lainnya. Mereka akan terpicu sendiri untuk juga berkarya. Di sinilah dapat dijumpai nuansa kompetitif dalam berkarya yang memang urgen digalakkan di sekolah-sekolah. Dan ini sulit tercapai tanpa peran aktif dari seorang guru beserta stakeholder pendidikan lainnya.

Bagi Fathorrahman, sebagai motivator, seorang guru dituntut mampu ‘merangsang’ siswanya berkarya. Tidak hanya transfer ilmu yang seringkali amat teoritis dan kurang aplikatif. Lebih dari itu, guru juga diharapkan bisa berkarya. Bila hal itu diwujudkan, maka betapa sekolah kuasa menjadi sumber peradaban dunia. Sebab, peradaban dunia terbangun lantaran kekuatan karya, melalui rajutan kata-kata bermakna.

Berpijak pada semua itu, Fathorrhman menawarkan beberapa langkah yang penting diperhatikan untuk menumbuh-kembangkan siswa berkarya. Pertama, revitalisasi perpustakaan sekolah yang tak jarang kurang dimanfaatkan. Selama ini, guru cenderung masih lebih fokus pada materi pelajaran an sich. Perpustakaan sekolah pun ‘hanya’ dijadikan tempat baca, tanpa ada kegiatan yang menopangnya. Melalui revitalisasi ini, nantinya diharapkan tumbuh spirit membaca sekaligus berkarya dalam diri siswa.

Kedua, menyediakan akses informasi. Ini juga tak kalah pentingnya. Kalau sekolah tak mampu memfasilitasi siswa dengan internet, misalnya, maka berlangganan koran adalah suatu kemestian. Dan harus diakui, mereka yang ketinggalan informasi di era globalisasi ini adalah termasuk dari golongan yang didorong ke lembah kebodohan.

Masih tentang urgensitas informasi kaitannya dengan spirit siswa berkarya. Informasi ini dapat menunjang terhadap lahirnya ide. Ide untuk berkarya itu mahal dan kadang sulit. Dan mudahnya akses informasi dapat meminimalisasi kesulitan tersebut. Ketika ide sudah mudah diraih melalui tersedianya informasi, maka spirit siswa berkarya yang membaja bukanlah mimpi di siang bolong. Pasti jadi kenyataan!

Ketiga, memfasilitasi siswa berkarya. Kalau sekolah belum siap menerbitkan majalah atau semacamnya, misalnya, sekolah dapat memulai itu melalui yang ringan seperti majalah dinding (Mading). Mading tersebut bisa tiap kelas, bisa juga satu dan yang mengisi bergantian per-kelas setiap hari atau tergantung situasinya.  

Keempat, mengadakan pelatihan kepenulisan atau kepengarangan. Sekolah dapat menghadirkan penulis-penulis andal yang mampu menggenjot semangat siswa berkarya. Sebagai follow up dari pelatihan tersebut, perlu dibentuk komunitas menulis. Di komunitas inilah nantinya harus dibangun iklim kompetisi positif. Upayakan ada satu pembimbing khusus yang berasal dari guru produktif. Atau, minimal senang berkarya.

Dari keempat langkah di atas, tegas Fathorrhman, sekolah dapat menjadi lokomotif perubahan ke arah yang lebih baik di negeri ini. Perubahan yang bersumber dari karya! Mendewasakan Anak Didik

Sebagai penutup, pengurus PAC IPNU Kadur di bidang Departemen Dakwah dan Pers Abdul Kifli, mengangkat topik bahasan tentang upaya “Mendewasakan Anak Didik”.

Harus diakui, tegas Abdul Kifli, nuansa pembelajaran beberapa sekolah di Indonesia masih mengerdilkan proses anak didik menjadi dewasa. Para guru lebih bertendensi pada pengagungan terhadap penguasaan materi pelajaran ketimbang pengembangan kejiwaan anak didiknya. Akibatnya, anak didik kerap gagap menyikapi problem keseharian mereka, karena tak teruji ketangguhan mentalnya selama mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Upaya mendewasakan anak didik melalui jalur pendidikan pun memilukan.

Selanjutnya, Abdul Kifli menyatakan bahwa kedewasaan anak didik itu dapat diukur, misalnya, melalui sejauh mana ia mampu menghadapi multi-persoalan yang menghinggapi kehidupan mereka. Dalam hal usia, mereka memang masih tergolong insan yang belum tangguh ketika ditimpa masalah. Mereka pun masih terbilang minim wawasan dalam menakar sekaligus menelorkan problem solving yang mengitari masalahnya. Di situlah keterlibatan guru dalam mengentaskan problem hidup anak didik melalui pendewasaan mutlak diperlukan.

Bagi Abdul Kifli, mendidik anak didik dengan pengajaran yang mendewasakan tentu amat mendesak dilakukan. Yang dimaksud dengan pengajaran yang mendewasakan ialah model pendidikan yang mengedepankan ujian mental anak didik. Namun bukan berarti kemudian mengenyampingkan ujian yang sifatnya kognitif. Model pendidikan semacam ini tidak harus diwujud-nyatakan dalam bentuk materi khusus, melainkan diupayakan dapat menjadi ruh dari setiap model pembelajaran. Dengan kata lain, pengajaran yang mendewasakan terbangun melalui keterlibatan secara aktif segenap civitas pendidikan. Pada aras ini, guru menempati posisi di garda terdepan.

Abdul Kifli menganjurkan agar para guru melalukan ragam upaya agar anak didik mampu mengembangkan pola pikirnya tidak hanya mengacu pada buku pelajaran. Melainkan, harus dipadukan dengan bacaan berbobot lainnya yang tentu merangsang daya berpikir mereka; segala bacaan yang membuat mereka berpikir lebih dewasa daripada sebelumnya. Di sinilah letak urgensitas keberadaan perpustakaan sekolah.

Untuk memperkuat gagasannya, Abdul Kifli menyitir pernyatakaan M Faizi,. Menurut Abdul Kifli, penyair sekaligus penulis nasional asal Madura tersebut pernah menyatakan bahwa, sekolah tanpa perpustakaan lebih baik dirobohkan saja bangunannya. Sebab, perpustakaan merupakan penyangga iklim keilmuan utama yang bergulir di sekolah. Dari perpustakaan inilah nantinya pikiran anak didik melejit-terangsang-bermetamorfosa ke arah yang mendewasakan.

Selain itu, lanjut Abdul Kifli, membakar spirit anak didik untuk selalu bertanya merupakan strategi jitu guna menggiring mereka menjadi dewasa. Melalui  semangat bertanya-lah, anak didik akan selalu berupaya menganalisis setiap persoalan yang terasa olehnya. Bahkan, spirit bertanya inilah yang menjadi pamantik mencuatnya peradaban dunia.

Sayang sekali, keluh Abdul Kifli, idealitas tersebut masih berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Anak didik cenderung malu mengajukan pertanyaan. Apalagi, mengusulkan pendapat yang terselip di benaknya. Kenyataan tersebut amat kentara terutama ketika sang guru tergolong sebagai pendidik yang killer; mudah mematahkan pendapat anak didik atau mengacuhkan pertanyaannya. Konsekuensi negatifnya, daya bertanya anak didik yang menjadi salah satu kekayaan dalam dunia pendidikan terpasung oleh kenaifan model mengajar seorang guru yang jauh dari nilai-nilai pendidikan.

Abdul Kifli menawarkan solusi agar anak didik sesekali diajak berbaur dengan kehidupan masyarakat luas. Itu penting juga dilakukan seorang guru guna menguji daya-sosial anak didik. Dengan begitu, anak didik akan tersadarkan bahwa dirinya tidak hidup sendirian. Ia juga akan tersadarkan betapa pendidikan itu amat kompleks, tidak hanya terkecimpung pada ranah sekolah saja.

“Maka, sebagai muara dari upaya-upaya di atas, lahirlah nuansa pendidikan yang merangsang anak didik menjadi dewasa. Dan kedewasaan tersebut dapat dijadikan salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan Indonesia,” tandasnya.

 

 


Redaktur     : Syaifullah Amin
Kontributor : Hairul Anam


Terkait