Purworejo, NU Online
Di suatu malam yang dingin, di bawah suhu 24 derajat, ribuan kader Penggerak Nahdlatul Ulama Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, berkumpul di Lapangan Desa Bulus, Gebang, Purworejo, (Ahad, 12/8) malam. Mereka datang semenjak sore dengan berbagai moda transportasi, mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, maupun mobil carteran umum, untuk meneguhkan sebuah tekad: mentaati perintah pimpinan.
Saya datang terlambat ke tempat itu. Acara yang sudah berlangsung semenjak sore, terpaksa tak tersaksikan. Baru selepas isya, saya meluncur ke lokasi dengan bersepeda motor. Hawa dingin dan tiupan angin membuat buku kuduk merinding dan daun-daun mengembun, begitu terasa di badan. Selama kurang lebih lima menit, saya sampai di jalan menuju lokasi, dengan penjagaan beberapa banser yang salah satu dari mereka saya kenal.
"Di mana parkirnya, Bib?" tanyaku kepada Habibi, rekan seperjuanganku di IPNU dulu, yang kini aktif menjadi "serdadu" banser.
"Oh, terus langsung saja ke sana," katanya, sambil menunjukkan arah ke kanan jauh. "Oke, aku beli rokok dulu," kataku.
Saya membeli dua bungkus rokok. Sebungkus untuk sendiri, dan yang sebungkus lagi saya bagikan pada Habib dan teman-temannya yang sedang berjaga.
Salah satu perilaku khas Banser NU adalah, mereka biasa berjaga sambil merokok. Dan berbagi rokok kepada mereka, adalah suatu penghargaan atas dedikasi mereka. Rokok – selain dicap negatif oleh sebagian orang – juga banyak menjadi penyambung tali persaudaraan. Pun juga Banser di sini, sebagian adalah mereka para perokok.
Saya melanjutkan perjalanan menuju lokasi. Di samping jalan, kanan dan kiri, sudah penuh dengan umbul-umbul, bendera merah putih, lampu warna-warni dan lampion yang mengiringi. Mereka ibarat para manusia yang menyambut saya datang ke acara ini. Yah, maklum, ini adalah bulan agustus, bulan kemerdekaan. Dan penyambutan hari ulang tahun kemerdekaan di sini begitu berbunga-bunga.
Di area lokasi, deretan motor sudah berbaris rapi. Puluhan warung dan pedagang kaki lima dadakan juga berdir. Di pos-pos tertentu para banser di jaga. Di tengah lapangan, lebih dari 1500 kader penggerak NU telah berbaris laiknya upacara kenegaraan, menghadap ke sebuah panggung di bagian barat lapangan. Mereka memakai pakaian serba putih di bagian atas, dan hitam di bagian bawah. Yang perempuan memakai kerudung hitam, dan laki-laki memakai peci. Di kepala mereka tersemat pita merah putih.
Ini adalah acara Apel Akbar dan Istighosah, dalam rangka menyongsong HUT RI-73. Hadir dalam acara ini, KH Hudallah Ridwan Na'im, Lc (Instrultur Nasional PKPNU), KH Mohamad Muzammil (Ketua PWNU Jawa Tengah), KH Habib Hasan Agil Ba'abud (Rois Syuriah PCNU Purworejo), KH Hamid Ak (Ketua PCNU Purworejo), HM. Haekal (Ketua Ansor Purworejo), Muspika, tokoh masyarakat, serta utusan dari Kader Penggerak NU dari 16 Kecamatan se-Kabupaten Purworejo.
Dalam sambutannya, Habib Hasan Agil al-Ba'bud selaku Rais Syuriah menegaskan bahwa tujuan apel kali ini salah satunya adalah untuk memperbaharui niat, semangat dan tekad kader. Ia juga meminta agar kader terus menjaga nama baik dan martabat NU.
"Patuh dan taat pada pimpinan NU. Agar langkah kader bisa berjalan sebaik-baiknya, utamanya taat kepada ulama NU," tuturnya.
Ia juga meminta, sesuai dengan dawuh KH. Muhammad Aziz Mansyur Lirboyo dan Habib Luthfi Pekalongan, agar tak terprovokasi dengan slogan "tak usah NU-NU-an", karena itu berbahaya.
"Biasanya yang bilang tak usah NU-NU an itu agen Wahabi," ungkapnya.
Di akhir ceramahnya, sesuai permintaan agenda panitia, beliau membacakan shalawat untuk mengiringi panitia mengedarkan kotak sumbangan. Hasil dari sumbangan ini akan disalurkan kepada saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah di Nusa Tenggara Barat (NTB). Para banser pun kemudian beroperasi membawa kotak keliling sekitar lima menit.
Ketua PWNU Jawa Tengah terpilih, Drs KH Mohamad Muzamil, kemudian didaulat untuk memberikan sambutannya. Di depan ribuan kader NU, mantan ketua umum PKC PMII Jawa Tengah ini meminta agar Kader Penggerak NU berjalan seiring-seirama sesuai dengan ranah masing-masing, baik yang di ranah pendidikan, pemberdayaan, ekonomi, keagamaan, pengkaderan, dan lainnya.
Lebih lanjut, Kiai yang biasa berbicara menggunakan Jawa kromo inggil ini menegaskan bahwa NU bukan partai politik, tapi jamiyyah-ijtimaiyyah (organisasi kemasyarakatan). Menurutnya, NU dulu besar, di antaranya karena beberapa hal, yaitu, bersatunya para ulama; kader yang ikhlas dalam berjuang, dan; mendahulukan kemaslahatan orang banyak atau kemaslahatan umum dibsnding kepenyingan pribadi dan kelompok.
Program NU di Muktamar Situbondo, menurut Kiai Muzammil, tidak muluk-muluk. Ada empat point program yang beliau paparkan di malam itu. Pertama, Thalabul Ilmi, tafaqquh fiddin. Harus ada kader yang fokus untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Pun yang di bidang lain tetap fokus.
"Kader NU yang di pemerintah konsetrasi di pemerintahan. Kader NU yang di swasta konsetrasi di swasta. Fokus pada apa yang kita geluti. Jika fokus, insya Allah berkah," tuturnya.
Kedua, adalah silaturrahim, menyambung tali persaudaraan. "Ada riwayat Simbah KH. Bisri Syansuri mengundang kiai-kiai terkenal. Dalam undangannya, ditekankan bahwa agendanya sangat penting. Setelah lama berkumpul, sudah makan-makan, ngobrol, makan lagi, ngobrol, ada yang memberanikan diri bertanya: 'agenda pentingnya kapan mulai, kiai?' Dan dijawab oleh Mbah Bisri: 'Apa ada agenda yang lebih penting dari sillarurrahim'. Dan semua kiai forum itu tak ada yang menjawab," cerita Kiai Muzammil, menirukan.
Cerita ini saya dengar sebelumnya dari Gus Muwafiq. Menurut Kiai Gondrong ini, waktu itu, para kiai sedang terlibat konflik (entah karena muktamar NU atau karena hal lain saya lupa). Tapi, undangan untuk hadir "makan-makan" dan "guyon" itulah cara kiai dulu dalam menyelesaikan masalah. Kiai punya resolusi konflik sendiri.
Ketiga, lanjut Kiai Muzammil, adalah syiar Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah. "Mushalla dan masjid kita hidupkan. Jangan sampai direbut pihak ketiga. Yang sudah direbut, mari kita rebut kembali dengan cara yang elegan dan tak menyalahi aturan," tuturnya.
Keempat, adalah Peningkatan taraf hidup warga NU agar lebih meningkat ekonomi dan kesejahteraannya. "Keadilan ekonomi bangsa, menentukan kedaulatan bangsa. Jika bangsa berdaulat bisa beribadah dengan baik," tuturnya.
Ia juga menjelaskan syarat masuk menjadi anggota NU menurut KH. Khudlori Tegalrjo, Magelang, itu ada tiga. Pertama, Niat baik. Kedua, Mematuhi aturan NU, baik yang tertulis mapupun yang tidak tertulis. Yang tertulis, ia mencontohkan, seperti dalam Muqaddimah Qanun Asasi, Ahkamul Fuqaha dan AD/ART NU. Ketiga, adalah menaati konsensus atau kesepakatan alim ulama Nahdlatul Ulama.
Kiai Muzammil kemudian mengakhiri pidatonya setelah sebelumnya meneriakkan yel-yel yang diikuti ribuan kader di depannya dengan penuh semangat.
Setelah Ketua PWNU Jawa Tengah terpilih, kini giliran Gus Hudallah. Dengan penuh energi dan berapi-api, ia membangkitkan semangat kader di malam yang dingin itu. Banyak hal yang beliau sampaikan, tapi kiranya hanya beberapa point saja yang saya tulis di sini.
Para nabi, kata Gus Huda di malam itu, tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu dan akhlak. Dan itu ada pada para ulama. Untuk itu, Gus Huda meminta para kader penggerak NU yakin dan mantap dengan NU sebagai jalan khidmah melayani ulama dan ummat.
"Orang yang menelantarkan umat Rasulullah, berarti menyakiti Rasulullah. Orang yang melayani, membahagiakan dan menyejahterkan umat Rasulullah, berarti membahagiakan Rasaulullah," ungkapnya, dengan lantang.
Ia mencontohkan, bahwa Pangeran Diponegoro itu seorang bangsawan, hartawan, yang meninggalkan kenikmatan dan kemewahan kerajaan untuk turun ke jalan pergerakan: membebaskan umat Rasulullah dari belenggu penjajahan. Sudah semestinya, lanjut Gus Huda, kader penggerak NU hari ini turut berjuang di NU sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing.
"Tanah yang kita injak ini tidak kita injak dengan gratis. Tanah air ini kita dapatkan dengan pertaruhan ribuan nyawa, bahkan jutaan nyawa pejuang!" ungkapnya, menggelegar memecah kesunyian malam.
Acara diakhiri dengan doa oleh KH. Hasan Agil al-Ba'bud. Usai acara pada sekitar pukul 23.00 WIB, para peserta membubarkan diri dengan tertib. Oh iya, pengumpulan dana sumbangan untuk NTB di malam itu diumumkan panitia, dengan jumlah total Rp. 10.453.000,- (sepuluh juta empat ratus lima puluh tiga ribu rupiah). (Ahmad Naufa Khoirul Faizun/Abdullah Alawi)