Jakarta, NU Online
Toleransi di Indonesia ini menghadapi tantangan, yakni modernitas. Pasalnya, hal ini mengandung kontradiksi yang cukup tajam sehingga membawa pembedaan kelompok dengan terang.
Hal itu disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla, salah satu cendekiawan Nahdlatul Ulama, saat ditemui NU Online di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta, Jumat (16/11).
Jakarta, misalnya, sebagai ruang modernitas yang paling terlihat, penuh kontradiksi. Ada kontras sosial yang mudah menyulut api kemarahan di antara masyarakat, seperti ketimpangan kaya-miskin, ketimpangan pendapatan, perbedaanstatus sosial, dan warna kontras antara yang relijius dan sekuler.
"Dalam ruang kontradiktif itu gampang membuat orang bingung," kata Gus Ulil, sapaan akrabnya.
Karena kebingungannya itu, orang akan mencari pegangan, baik itu sekulerisme, relijiusitas, ataupun lainnya. Hal inilah, menurutnya, yang membuka ruang ideologi radikal mudah masuk.
"Ideologi radikal mudah berkembang di kota karena memang ruang sosialnya memungkinkan, yaitu ruang sosial yang penuh kontradiksi," katanya.
Hal ini diperparah dengan kehancuran otoritas yang sudah dialami oleh kota Jakarta. Pengaruh kiai, menurutnya, tidak sebesar di kampung. Karena itu, semua orang dapat mengajukan diri menjadi otoritas baru, mengaku sebagai kiai, ustadz, ataupun mengaku sebagai ulama hanya dengan berbekal satu dua ayat.
"Karena otoritas agama hancur, popularitas ideologi radikal sangat tinggi," jelasnya.
Hal lain yang membuat toleransi semakin menipis di ibukota dan kota besar lainnya, menurut Gus Ulil, adalah kecenderungan masyarakat kelas menengah yang ingin hidup praktis dan pragmatis. Mereka lebih memilih ajaran agama yang mudah dicerna, hitam-putih, dan yang jelas memberikan pembatasan antara Islam dan kafir, halal dan haram.
"Mereka tidak mau berpikir mendalam dan serius," ujarnya, "tapi kalau kamu menyodorkan pola keagamaan yang penuh dengan nuansa lebih filosofis, analitis itu tidak mau," imbuhnya.
Tendensi kepraktisan mereka, kata pria yang menamatkan studi di Universitas Harvard, Amerika Serikat ini memudahkan tersebarnya ideologi intoleran. Sebab, ideologi intoleran memberikan ideologi yang instan kepada mereka yang kelas menengah itu.
Meskipun modernitas ini membuka ruang bagi munculnya wacana toleransi yang jauh lebih kokoh mengingat keberadaan para pejuang ide Hak Asasi Manusia (HAM), toleransi, dan pluralisme, misalnya, di kota besar juga.
Hal serupa tidak terjadi di kampung-kampung. Pasalnya, mereka, orang kampung, mempelajari agama Islam lebih komprehensif. Berbagai bidang keilmuan mereka pelajari, seperti fiqih, tafsir, nahwu, sharaf. "Karena itu, mereka tidak terdorong untuk berpikir hitam putih," katanya.
Sementara orang kota tidak mengenal nahwu sharaf, tetapi langsung merujuk ke Al-Qur'an dan hadis. Karenanya, Gus Ulil menyebut mereka seakan menghadapi mesin. "Orang kota ini orang yang suka manual praktis. Mereka tidak mau belajar membikin mesin itu, caranya bekerjanya mesin itu dan seterusnya," terangnya.
Strategi
Menghadapi hal seperti yang diuraikan di atas, pengajar pascasarjana Unusia Jakarta itu menegaskan agar memperkuat kultur toleransi. Perundang-undangan, peraturan gubernur, ataupun peraturan daerah yang menjamin kemerdekaan beribadah dan menjaga hak-hak kaum minoritas juga menurutnya penting. Namun, baginya, kultur di atas hal itu.
"Yang menjadi pokok perhatian saya itu kulturnya. Bukan sistemnya," katanya.
Toleransi itu sudah menjadi kultur, maka langkah selanjutnya yang paling penting adalah pendidikan di sekolah, dakwah para kiai, pengajian-pengajian di majelis ta'lim, buku-buku pelajaran, siaran di radio televisi, ceramah umum, terbitan koran, majalah, dan buku.
"Itu semua sarana enkulturasi masyarakat," pungkasnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)