Daerah

Memaknai Warisan Strategi Dakwah Wali Songo

Rabu, 18 Juli 2018 | 18:00 WIB

Surabaya, NU Online
Amaliah dan tradisi NU adalah kelanjutan dari ajaran dan strategi Wali Songo dalam proses islamisasi di Nusantara. “Penghuni Nusantara yang tadinya Hindu Budha dan agama Jawa bisa diislamkan secara persuasif tanpa mereka merasa digurui dan diintimidasi,” ungkap Ustadz Fatkhul Qodier, Rabu (18/7).

Hal itu disampaikannya pada kegiatan halal bi halal yang diselenggarakan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Dauh Puri Kaja bersama Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Denpasar, Bali, Sabtu (14/7). 

“Kegiatan berlangsung di Mushalla Pesantren Darunnajah Al-Mas'udiyyah, Wanasari, Denpasar Utara yang populer dengan sebutan Kampung Jawa,” katanya. Sebutan itu lantaran daerah tersebut merupakan basis Islam dan NU. 

Budaya masyarakat nonmuslim tidak dihanguskan, namun diislamkan dari dalam dengan cara mengganti isi tradisi yang tidak islami diganti secara pelan dengan ajaran Islam. “Jadilah tradisi berkumpul usai kematian dalam tradisi yang isinya tidak islami kemudian diisi dengan membaca Al-Qur'an, takbir, tahmid,dan lainnya sehingga populer menjadi tahlilan. Begitu pula tradisi lain yang umum dilakukan Nahdliyin,” ungkap alumnus Pesantren Lirboyo Kediri tersebut. 

“Saya tegaskan kepada jamaah bahwa kelompok yang selalu mencibir dan menyerang amaliah NU sebagaimana halal bi halal, tahlilan, dan sebagainya adalah kelompok yang berafiliasi dengan Salafi Wahabi,” tegasnya. Mereka adalah kelompok Muslim yang memahami Al-Qur'an dan al-Hadis secara tekstual dan saklek serta kurang memaksimalkan potensi akalnya dalam memahami syariat, lanjutnya. 

Apa misi utama kalangan ini? “Yakni purifikasi ajaran Islam,” kata dosen di Institut KH Abdul Chalim Mojokerto tersebut. Bagi mereka, semua aktifitas keagamaan harus berdasar teks Al-Qur'an dan Hadis, jika  tidak ada sandaran tekstualnya maka dianggap bid'ah atau kreasi yang konsekuensi hukumnya haram. Bahkan bisa menjurus kepada kemusyrikan, murtad dan ahli neraka. 

“Hal itu berbeda dengan ulama NU yang berafiliasi kepada Ahlussunnah wal Jamaah yang memiliki ajaran bahwa bid'ah maupun kreasi dalam ajaran agama tidak semuanya dilarang atau haram,” ungkapnya. 

Hal ini merujuk kepada klasifikasi bid'ah yang ditegaskan oleh Imam Muhammad bin Idris as-Syafi'i dengan dua macam bid'ah, yakni bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah. “Bid'ah hasanah adalah kreasi ajaran Islam namun tidak bertentangan dengan prinsip syariat seperti acara halal bi halal yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW,” ujarnya. Namun halal bi halal adalah aplikasi dari ajaran silaturahim yang dalilnya sedemikian banyak dalam al-Qur'an maupun Sunnah, lanjutnya. 

Dalam kesempatan tersebut disampaikan bahwa kelompok anti amaliah bid'ah hasanah dimotori Salafi Wahabi, namun dalam konteks Indonesia Wahabi telah bereinkarnasi dalam berbagai varian kelompok. Di antara kelompok yang ajarannya mirip Wahabi adalah Majelis Tafsir Al-Qur’an atau MTA hingga Hizbut Tahrir Indonesia. 

“Namun saya tegaskan jika mereka tidak secara vulgar dan terbuka menyerang amaliah kita maka kita tidak perlu mempertajam permusuhan,” kata pria asli Magelang ini. Karena perbedaan dalam furu' syariat adalah keniscayaan. 

Berbeda lagi jika mereka terus saja menghantamkan tuduhan kepada kita sebagai kelompok ahli bid'ah, penyembah kubur, dan tuduhan keji lainnya sebagaimana sering dilontarkan ulama Salafi Wahabi. “Maka wajib mempertahankan keyakinan kita dan mereka harus dilawan,” tegasnya. Karena merekalah yang membuat umat Islam di Indonesia menjadi kisruh, hubungan sosial antarmasyarakat Muslim diacak-acak hanya karena perbedaan pemahaman syariat. 

“Penyakit merasa paling benar sendiri dan tidak menghargai perbedaan adalah ciri mereka,” katatanya. Dan semua itu karena berangkat dari pemahaman dangkal terhadap syariat, sehingga dalam titik ekstrim ajaran mereka adalah modal dasar para teroris yang menghalalkan darah manusia di luar kelompoknya. 

Dalam forum tersebut disampaikan juga bahwa ajaran anti bid'ah hasanah atau kelompok pengklaim pemurni akidah juga diperjuangkan oleh salah satu partai politik yang getol menyerang NU dan para kiai. “Partai ini jika besar dan menguasai birokrasi pemerintahan dan akan berbahaya bagi eksistensi NU dan Indonesia yang majemuk ini,” ungkapnya. 

Hal tersebut dibuktikan pada masjid dan lembaga yang mereka miliki atau masjid pemerintah yang takmirnya dari mereka, maka amaliah Nahdliyin dilarang. Ciri-cirinya adalah saat shalat Shubuh dilarang membaca qunut, dilarang wiridan dan doa berjamaah usai shalat, dilarang puji pujian menunggu imam shalat jamaah, khatbah Jumat dilarang pakai tongkat dan adzan cuma sekali. “termasuk bacaan fatihah tidak diawali basmalah, kaki terlalu renggang saat shalat, tidak berkenan jabat tangan usai salam, dan semacamnya. 

“Saya sampaikan agar kita sebagai Nahdliyin yang telah mengajarkan amaliah Islam ala Aswaja harus membentengi generasi,” katanya. Hal tersebut agar para pemuda penerus bangsa tidak diracuni oleh kelompok yang ingin menghancurkan tradisi dan amaliah yang sudah mengakar ratusan tahun yang diwariskan dari para Wali Songo, lanjutnya. (Rof Maulana/Ibnu Nawawi)


Terkait