Daerah

Lakpesdam Jateng Giatkan Diskusi Bulanan

Ahad, 1 Maret 2015 | 15:01 WIB

Semarang, NU Online
Pengurus Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam) Jawa Tengah menggiatkan kembali diskusi bulanan setelah sempat vakum beberapa waktu.
<>
Jumat (27/2) lalu, Lakpesdam NU Jateng menggelar diskusi dengan tema "Konflik dan Rekonsiliasi dalam Masyarakat Plural: Studi di Kabupaten Jepara" di ruang pertemuan PWNU Jawa Tengah, Jalan Dr. Cipto 180, Semarang, dengan pembicara seorang peneliti Fakhrudin Aziz.

Selama 20 menit Aziz memaparkan kasus yang terjadi di Jepara, tepatnya di desa Dermolo dan Bondo, tentang bagaimana penduduk desa mendefinisikan agama (din) yang ternyata hal ini membuat pola beragama (tadayun) dan penjagaan agama (hifzh al-din) berbeda. Hal tersebut juga berpengaruh pada situasi konflik dan harmoni masyarakat setempat.

Materi diskusi ini merupakan penelitian yang dikerjakan Aziz selama dua tahun di Jepara dalam rangka menyelesaikan program doktoral di UIN Walisongo.

Studi kasus ini tidak terlepas dari asal muasal desa pendirian desa yang melibatkan danyang (cultural hero) Mbah Tambar dan Mbah Giah yang berada di Desa Dermolo dan berpengaruh terhadap cara berislam tradisional. Sedangkan Bondo dibangun oleh Lahut Gunowongso dan pendeta Ibrahim Tunggul Wulung. Keduanya membangun desa dalam bidang ekonomi dan sosial dan oleh masyarakat dijadikan model ideal hidup bermasyarakat.

"Agama dikontruksi oleh masyarakat," ungkap Aziz dengan dipengaruhi nilai-nilai sosial yang dibawa sang danyang,” ujarnya.

Pada 1950an di Dermolo pulanglah Kromo Sadyo dari pesantren Jombang yang membawa ideologi NU. Tradisi yang ada di desa dilestarikan dengan masih adanya penghormatan terhadap danyang (kabumi) dan tetap menjalankan syariat Islam.

Kemudian era 1960an datang Teko membawa misi pemurnian Islam dengan semangat Muhammadiyah. Hingga pada 1970 muncul Musta'in dari kalangan Muhammadiyah yang mampu mendinamisasikan masalah furuiyyah yang lahir antara NU dan Muhammadiyyah. Akibatnya, NU dan Muhammadiyyah sebagai basis ideologi dan mayoritas masyarakat menjadikan sebagai identitas sosial belaka.

Proses dialektika ini juga terjadi di Bondo namun tidak tampak hegemonik seperti di Dermolo. Hingga akhirnya di masing-masing NU dan Muhammadiyyah lahir kelompok agamis dan nasionalis.

"Pendefinisian agama akan mempengaruhi cara berekspresi beragama seseorang", tambah Aziz mengakhiri materinya. Dari sinilah kemudian terjadi persinggungan dengan penduduk yang beragama Kristen. Lahir bagaimana menjaga agama yang bersifat aktif ataupun pasif.

Diskusi bulanan ini dihadiri dari anggota Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Semarang, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tampak pula Hee Cheol Park, mahasiswa peneliti sosiologi dari Kangwon National University Korea Utara. (M. Zulfa/Mahbib)


Terkait