Kondisi Pesantren Penampung Korban Konflik Memprihatinkan
Jumat, 14 Desember 2007 | 07:25 WIB
Lhokseumawe, NU Online
Kondisi Pesantren (Dayah) Al-Hidayah di Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhoseumawe yang menampung 120 anak korban konflik, tsunami, dan kurang mampu memprihatinkan.
"Saat ini kami sangat membutuhkan uluran tangan semua pihak untuk membantu mengembangkan pesantren ini menjadi lebih baik dan maju," kata Pimpinan Pesantren Al-Hidayah Tgk. M. Rasyid di Lhokseumawe, Kamis.
<>Pesantren yang terletak sekitar 300 meter dari pesisir laut tersebut didirikan pada 2002 dengan biaya pribadi dan sumbangan masyarakat setempat guna membantu anak korban tsunami, konflik, dan miskin yang ada di Aceh.
Dayah (pesantren) tradisional tersebut kini menampung 120 anak yang terdiri atas 74 anak korban konflik, delapan korban tsunami, dan 38 penduduk miskin, dengan fasilitas 30 kamar berdinding papan.
"Kini ratusan santri yang terdiri atas laki-laki dan perempuan terpaksa menggunakan fasilitas apa adanya dan mereka harus menempati lima sampai delapan orang per kamar. Bahkan sebagian ada yang tidur tidur di balai pengajian," katanya.
Santri pesantren yang kini belajar dan tinggal di pondok pesantren tersebut terdiri berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD hingga perguruan tinggi, dengan tambahan biaya pendidikan yang diberikan yayasan setempat.
Pemerintah Kota Lhokseumawe melalui Dinas Sosial memberi bantuan biaya untuk 95 santri, masing-masing senilai Rp8 ribu/hari, sedangkan jumlah santri yang tinggal dan belajar di tempat tersebut mencapai 120 orang.
"Bantuan yang ada saat ini hanya dari Dinas Sosial yang diberikan tiap bulan namun tidak mencukupi, terlebih santri juga butuh makan dan uang transpor pergi sekolah. Kami terpaksa menggunakannnya seirit mungkin," jelasnya.
Mahdi, guru di pesantren setempat mengatakan, untuk biaya mengajar sebanyak 13 orang terpaksa menomboki sendiri karena gaji yang diberikan oleh Pemkot Lhokseumawe sangat terbatas.
"Pemkot hanya mengalokasikan honor untuk 7 orang pengajar senilai Rp150 ribu/bulan, sedangkan jumlah kami mencapai 13 orang. Jadi pengajar disini terpaksa membagi honorarium untuk 13 guru atau setiap orang memperoleh sekitar Rp80 ribu," katanya.
Dia mengharapkan, pemerintah dan lembaga lainnya membantu pengembangan pesantren tersebut guna meningkatkan mutu pendidikan agama bagi anak-anak kurang mampu di Provinsi NAD.
"Kami berharap semua pihak termasuk Pemerintah Pusat dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias memerhatikan pesantren ini, agar menjadi lebih baik di masa mendatang," kata dia. (ant/tng)