Daerah

Jebolan Pesantren Dakwah dengan Media Wayang Rotan

Rabu, 26 Juni 2019 | 04:00 WIB

Jebolan Pesantren Dakwah dengan Media Wayang Rotan

kegiatan membuat wayang dari bahan rotan

Jepara, NU Online
Wikha Setiawan, Pemuda asal Jepara Jawa Tengah yang juga alumni Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo ini tidak memiliki niatan untuk menekuni dunia wayang. 

Gagasan ini muncul, setelah ia mendirikan 'Rumah Baca Aksara' pada tahun 2016 yang ditempatkan di ruang tamu rumahnya. Ia yang lahir di Desa Telukwetan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara 33 tahun silam ini mulai dikenal di kalangan seniman Jepara ketika ia sering mementaskan pertujukan Wayang Rotan. 

Meski sederhana, pemuda yang menaruh minat pada kesenian sejak di pesantren menjadikan Wayang Rotan sebagai media dakwah untuk menarik perhatian banyak pihak. Karena sebelumnya, belum pernah ada wayang yang terbuat dari bahan Rotan yang digagasnya.

Kepada NU Online, Selasa (25/6) Wikha menceritakan kemunculan wayang rotan. Awalnya, dakwah melalui media wayang rotan bukan tujuannya. Namun setelah dicoba, ternyata masyarakat cukup antusias untuk mendengarkan dan menonton sampai akhir pertunjukan.

"Saya baru menyadari bahwa mengajak masyarakat untuk gemar membaca tidak cukup pasang tulisan, famlet, dan dengan iming-iming lainnya. Ternyata sulit menanamkan budaya membaca kepada anak-anak, harus ada medianya," jelasnya.

Wikha kemudian terus mengamati kesenangan masyarakat di desanya. Ia menemukan bahwa pertunjukan seni cukup banyak diminati di masyarakat. Ia gali lagi, ketemulah konsep pertunjukan wayang karena masyarakat senang mendengar cerita dongeng.

Di tengah keterbatasan sarana yang dimilikinya, Wikha kemudian memanfaatkan rotan, di mana di desanya merupakan desa dengan pengrajin kayu rotan terbanyak di Jepara. "Untuk menyempurnakan wayang dari bahan rotan tersebut, saya meminta bantuan aktivis Tenun Troso Jepara, untuk sama-sama mengeksplor  bentuk dan konsep pertunjukan," ungkapnya.

Dirinya sadar, ia tidak bisa melakukannya sendirian. Sehingga ia mengorganisir para pemuda dan membentuk Komunitas Pojok Kidul. "Anggotanya beragam, ada pekerja pabrik, anak kuliahan, anak SMA, dan  pengangguran yang mereka masih di Welahan," paparnya.

Akhirnya, Wikha dan komunitas Pojok Kidul keliling ke kampung-kampung untuk pertunjukan seni. "Sore kita ngajar anak-anak bikin Wayang, malam pentas," jelasnya dengan bersemangat.

Secara umum, bentuk wayang rotan ini hampir sama dengan wayang pada umumnya, namun ada beberapa yang berbeda. Sementara untuk karakter, dirinya menciptakan empat karakter tokoh wayang rotan dengan nama Kimpet, Kimpul, Kimblong dan Mbah Padang.

Alur singkatnya, Wikha melanjutkan, tiga anak (Kimpet, Kimpul, Kimblong) tersebut bersaudara tapi beda darah. Namun, mereka ini tidak tau asal usulnya. Mereka dirawat oleh Mbah Padang. Ketiga anak ini dikenal sebagai tokoh yang ngawur dan nakal. 

"Nah ketika mereka ini punya masalah, karakter Mbah Padang yang dapat menguraikan masalah. Pesan moral dan keagamaan ini, ya melalui karakter Mbah Padang," jelas pemuda yang pernah Kuliah di UIN Semarang tersebut.

Seiring berjalannya waktu, komunitas ini sering menerima undangan untuk pentas. Termasuk beberapa komunitas rumah baca yang peminatnya kurang. Sementara ini, sudah pernah tampil di Pati, Kudus, Semarang, dan juga pernah di Pulau Karimun Jawa.

Apresiasipun datang dari berbagai pihak, salah satunya pada tahun 2018, mendapat penghargaan dari Fakultas Komunikasi Universitas Semarang.

Meski demikian, Wikha menyadari wayang rotannya masih jauh dari sempurna. Namun, ke depan ia sedang mengonsep pembelajaran Fiqih Anak melalui pementasan Wayang Rotan. "Saya ini kan nggak bisa ngajar ngaji, ya paling tidak dengan ini (wayang rotan) hidupku bisa lebih bermanfaat," pungkasnya. (Abraham Eboy/Muiz)


Terkait