Jember,, NU Online
Dalam beragama, seorang Muslim harus paham:apa itu mujtahid, muttabi’ dan muqallid. Sehingga akan memudahkannya dalam memahami dirinya sendiri maupun orang lain, Dan kalau di dunia medis, dokter sebagai mujtahid bidang kedokteran. Sementara pasien adalah muqallid atau orang yang bertaklid pada dokter.
Demikian disampaikan Kiai MN Harisudin saat memberikan wawasan di Masjid Darus Syifa’ Rumah Sakit Dokter Subandi Jember, Selasa (29/1). "Dalam beragama, seorang Muslim harus paham:apa itu mujtahid, muttabi’ dan muqallid sehingga akan memudahkan seorang Muslim memahami baik dirinya sendiri, maupun orang lain,” katanya di hadapan ratusan jamaah shalat dluhur yang umumnya para dokter, perawat dan keluarga pasien tersebut.
Guru besar Institut Agama Islam Negeri Jember ini menjelaskan bahwa agama Islam hadir untuk semua kalangan. Dengan demikian, Islam bukan diperuntukkan milik segmen tertentu.
“Islam adalah agama untuk semua, anak muda dan juga orang tua. Laki-laki dan juga perempuan. Kaya dan juga miskin. Orang pintar dan juga orang bodoh. Orang kota juga orang desa. Agama untuk orang elit, tapi juga agama untuk kawulo alit dan seterusnya,” ungkapnya. Karena itu, Islam dapat diterima di semua kalangan tersebut, lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates tersebut.
Dengan mengutip surat at-Taghabun bahwa manusia diperintah bertakwa sesuai kemampuan dan taat, serta berinfak kebaikan. “Karenanya, dalam kaidah ushul fiqih dikatakan la yajuzu taklifu ma la yuthaqu yakni tidak diperkenankan membebani sesuatu yang tidak mampu. Ibarat anak berumur dua tahun tidak dapat dibebani membawa satu sak beras 25 kg,” ujar Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut.
Pada kesempatan tersebut, dirinya membagi tingkatan kaum Muslimin menjadi tiga sebagaimana dalam fiqih.
“Pertama adalah level ijtihad,” ungkapnya.
Di tingkatan ini mereka yang masuk kategori ijtihad disebut mujtahid, namun jumlahnya sedikit. “Karena mereka alim dan paham ilmu-ilmu keislaman seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali yang tidak mengikuti pendapat orang lain, karena punya pendapat sendiri,” jelasnya.
Sedangkan tingkat kedua level ittiba’ atau muttabi’. “Mereka ini ikut pendapat ulama dengan tahu dalilnya,” urainya.
Sedangkan level ketiga yakni taqlid (muqallid). “Yang bersangkutan mengikuti pendapat ulama dengan tanpa tahu dalilnya, dan orang awam kebanyakan masuk kelompok ketiga ini,” kata Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara tersebut.
Untuk memudahkan, Kiai Haris mencontohkan posisi dokter dan pasien. “Kalau di rumah sakit ini, dokter menjadi mujathid di bidang kedokteran atau medis. Sementara, pasiennya adalah muqallidnya," urainya. Pasien tidak boleh memosisikan sebagai dokter karena harus menerima apa saja petunjuk resep dokter, lanjutnya.
Selain itu, masing-masing level bertugas sesuai bagiannya, dan tidak boleh dipaksakan ke yang lain. Misalnya, petani dan tukang becak tidak bisa dipaksa beragama model ijtihad. “Mereka tidak harus tahu dalilnya. Karena itu dalam berislam, mereka cukup bertaklid pada ustadz atau kiainya,” ungkapnya.
Kalau sedang mengantar penumpang, tukang becak tidak perlu membuka al-Qur’an dan hadits untuk mencari dalil shalat. Demikian juga petani yang di sawah, tidak perlu membuka kitab kuning untuk mencari dalil. Karena yang demikian tentu memberatkan bagi mereka. “Jadi, sekali lagi mereka cukup bertaklid kepada kiai atau ustadz,” tandasnya. (Sohibul Ulum/Ibnu Nawawi)