Jakata,NU Online
Pemilihan dosen berprestasi tingkat Kopertis Wilayah Jabar dan Banten,
tahun ini memunculkan "rekor" tersendiri. Dosen yang terpilih ternyata
tidak muda lagi, Ir. H. Habibulloh Rois, M.Sc. Ph.D. yang sudah berusia
63 tahun.
Tak hanya itu, Habibulloh juga kalau ditelisik dari keturunannya
berstatus saudara sepupu dengan mantan presiden, K.H. Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur. Bahkan, saking dekatnya hubungan persaudaraan, hingga
wajah Habibulloh mirip dengan adik Gus Dur, Gus Solah (H. Salahuddin Wahid).
"Kalau Anda menyebut wajah saya mirip Gus Solah ya tidak apa-apa, karena
ia saudara sepupu. Saya dengan Gus Solah satu kelas ketika kuliah di
ITB," kata Habibulloh kepada "PR" ketika syukuran, baru-baru ini.
Habibulloh juga kelahiran Jombang, Jawa Timur, satu kampung dengan Gus
Dur dan masantren di Pesantren Tebu Ireng. "Pesantren Tebu Ireng
didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU. Saya pernah diajar oleh
ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, yang pernah menjadi menteri agama,"
katanya.
Syukuran berlangsung di ruang Rektor Universitas Langlangbuana (Unla)
Drs. H. Ali Hanafiah, M.M, yang dihadiri Ketua Badan Pelaksana Harian
(BPH) Unla, H. Utang Rukmana Warmana. "Di usia sudah tua ternyata Pak
Habibulloh berprestasi menjadi dosen berprestasi Kopertis Wilayah IV,"
kata Ali Hanafiah.
Merujuk pada pepatah, ia ibarat "tua-tua keladi makin tua makin
menjadi". "Saat pemilihan menyisakan 10 orang, seorang anggota tim
penguji menanyakan usia saya yang lahir 4 Agustus 1942. Apakah saya
tidak memberi kesempatan kepada dosen yang lebih muda?" kata kakek dua
orang cucu ini.
Mendengar pertanyaan itu, ia hanya tersenyum lalu menjawab dengan
tandas, dirinya ingin memberikan motivasi kepada dosen muda. "Saya bukan
mau menghalangi orang muda, tapi malah memberi dorongan," kata dosen
tetap Unla.
Juga saat ia memilih mengajar di Unla kerap ditanyakan rekannya, karena
memilih perguruan tinggi yang dianggap "kelas dua". "Saya pernah
mengajar di Unpar, Unisba, dan Unjani," katanya.
Namun, dengan masukan calon mahasiswa Unla menurutnya, menjadi tantangan
dalam mengajar. "Kita ditantang dalam berkarya di Unla. Bagaimana
memberi kuliah yang cepat dimengerti oleh mahasiswa," katanya.
Nantinya ia bersaing dengan 180 dosen berprestasi di tingkat nasional,
untuk dipilih 15 besar yang akan menghadiri detik-detik proklamasi di
Istana Negara. "Dari Ko-pertis IV harusnya tiga orang, ada Dra. Umi
Narimawati, S.E., M.Si. dari Unikom dan Dr. Hj. Mintarsih, M.Pd dari
Unswagati. Namun, saya yang dikirim," katanya.
Tugas sulit
Selain dosen, Habibulloh juga menjadi konsultan dalam projek pembangunan
masjid atau monumen. "Entah kenapa projek saya memiliki tingkat
kesulitan tinggi dilihat dari teknik sipil," katanya, yang membantu
pakar pembangunan masjid, H. Achmad Noe'man.
Sudah banyak masjid besar dan megah lahir dari tangannya, seperti Masjid
At-Tiin di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Masjid Al-Markaz Al-Islami
di Makasar Sulsel, dan kini sedang menggarap Masjid Islamic Centre NAD.
"Untuk Monumen Jalasveva Jayamahe milik TNI AL di Surabaya dan Monumen
Lembu Sauna di Kutai Kertanegara," katanya.
Baik monumen di Surabaya atau Kutai Kertanegara, memiliki tingkat
kesulitan tinggi karena memadukan beton dan baja tanpa komposit. "Patung
prajurit TNI AL atau Lembu Sauna rumit dan sangat tidak teratur.
Bagaimana membuat struktur beton dengan baja yang membentuk lekukan
tubuh manusia maupun lembu?" katanya.
Juga konstruksi Masjid Islamic Centre NAD masih dalam pengerjaan,
dinilainya amat rumit. "Bentangan bangunan tanpa kolom (tiang penyangga)
ukuran 30 m x 42 m yang belum ada di Indonesia. Apalagi lantai dan atap
beton hingga bebannya amat besar," katanya.
Dengan bentangan yang amat besar itu harus memikul beban atap "dome"
(kubah) dengan diameter 18 m. "Lubang dome tidak boleh terganggu oleh
malang melintangnya pembalokan. Belum lagi dengan menara di tiap
sudutnya dengan bagian bawah menara setinggi 28 m, menyatu dengan
bangunan induk masjid," katanya.
Tanpa kolom di tempat salat (ukuran 30 m x 42 m), sesuai hadis Nabi
Muhammad yang tidak membolehkan barisan salat terpotong. "Kita lih