Daerah

Giatkan Tradisi Menulis Santri, Komunitas Matapena Gelar Liburan Sastra di Pesantren

Selasa, 30 Desember 2014 | 17:03 WIB

Malang, NU Online
Komunitas Matapena Yogyakarta kembali menggelar Liburan Sastra di Pesantren (LSdP) yang berlangsung di pesantren Raudlatul Ulum I Desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang, Kamis-Sabtu, (25-27/12) lalu. Kegiatan yang diikuti 64 santri asal Jawa dan Madura ini diawali dengan stadium general bertajuk “Pesantren, Sastra dan Tradisi Menulis”, Kamis, (25/12). <>

“Santri pesantren menyimpan bakat-bakat tersembunyi,” ujar KH. Madarik Yahya salah satu narasumber.

Bakat-bakat itu, terang Gus Madarik perlu dieksplorasikan. Apalagi, lanjut Mudarik, pesantren identik dengan NU. “Dan NU perlu didokumentasikan serta diteliti agar keberadaan NU semakin membumi,” tuturnya. 

Caranya, lanjut ketua Yayasan KH Yahya Syabrawi, santri perlu belajar menulis. “Sering-seringlah melakukan latihan menulis, perenungan dan membaca/ iqra,” tegasnya. 

Pembicara lain, M. Faizi menambahkan, pesantren merupakan lembaga yang mentransformasikan sastra, puisi dan nadzam sebagaimana kitab amsilatut tasrifiyah. 

“Zaman orde baru santri minder karena direndahkan martabatnya. Tapi Presiden Gus Dur berhasil membuka pesantren sebagai cakrawala peradaban Islam,” sebut Faizi, kiai nyentrik asal Guluk-guluk, Sumenep, Madura ini. 

Dengan demikian, imbuh penulis buku Merentang Sajak Madura-Jerman, santri harus direkatkan dengan tradisi menulis dan bersastra.

Sementara itu, Nyai Siti Aisyah, Kepala Madin pesantren Raudlatul Ulum menerangkan, pesantren menghadapi banyak dinamika. “Misalnya santri modern lebih mengenal artis Korea Lee Min Ho daripada KH Wahab Hasbullah,” ujarnya. 
Dalam menghadapi hal itu, lanjut Aisyah, santri harus lebih mengenal tradisinya. “Sebelum santri mengenal dunia luar, terlebih dahulu harus kenal dengan pengasuh pesantrennya masing-masing,” katanya.  
Santri, tambah Aisyah, juga perlu banyak pengetahuan umum. “Misalnya, sejarah Islam maupun dunia,” ujarnya. Disamping itu, ungkapnya, perlu pula menguasai teknologi. “Santri tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga perlu menebar nilai-nilai luhur pesantren melalui sarana teknologi,” harapnya. (Syaiful Mustaqim/Fathoni) 


Terkait