Bantul, NU Online
Serangkaian dengan Konfercab, PC IPNU-IPPNU Kabupaten Bantul menggelar stadium general, Ahad siang (12/05) di Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an (STIQ) An-Nur Ngerukem, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
<>
Stadium general membedah tema Konfercab, yakni “pelajar bersatu rapatkan barisan menuju pelajar yang berakhlaq mulia”. Dalam kesempatan hadir tiga orang narasumber, yakni, perwakilan dari Syuriyah PWNU DIY H Damanhuri, perwakilan dari PCNU DIY H Widodo, dan perwakilan dari PP IPNU-IPPNU Nur Kholis. Acara tersebut dimoderatori oleh ketua PC IPNU Kabupaten Bantul, Misbah Mustafa.
Pembicara pertama, H Damanhuri memaparkan, bahwa salah satu penyebab dari maraknya kenakalan remaja saat ini adalah krisisnya keteladanan dari generasi tua. Pada dasarnya, semua manusia cenderung mengikuti generasi sebelumnya. Dan disini, peran kader muda IPNU-IPPNU menyebarkan panji-panji NU dan Aswaja, sebagaimana disampaikan oleh para generasi lama.
“Krisis generasi dan keteladanan harusnya diperhatikan. Maka siapapun kita, mari menjadi uswah hasanah bagi generasi penerus kita,” tandasnya.
Jika pembicara pertama menekankan pentingnya keteladanan dari generasi yang lebih tua, H Widodo selaku pembicara kedua menuturkan bahwa tak selamanya hal tersebut berlaku, dan tidak semua generasi muda mau meniru orangtua, karena pada kenyataannya, tak sedikit yang orangtuanya NU tulen, tapi anaknya tidak, akibat terpengaruh oleh komunitas lain yang diikutinya.
“Ini tentu mengkhawatirkan, karena ketika orang tuanya sudah meninggal, tidak akan ada yang mendo’akan dan meneruskan perjuangannya,” tegasnya.
Maka ia begitu mengapresiasi dan bangga terhadap anak-anak muda, khususnya anak muda NU yang masih mau meneruskan perjuangan para pendahulu.
Adapun Nur Kholis, selaku pembicara ketiga menghimbau agar anak-anak muda NU untuk lebih menghargai proses, terlebih proses dalam berorganisasi, karena merupakan bagian dari dinamika kehidupan yang harus dilewati. Ia juga mengatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh generasi muda NU.
“Pertama adalah generasi muda harus kritis terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, karena manusia tidak akan hidup sendiri. Kedua, pentingnya karakter – akhlaq mulia – yang akan menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat kelak,” paparnya.
Seorang peserta, Kurniawan, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan kegelisahannya terhadap keberadaan lembaga-lembaga formal NU yang seolah ‘ketinggalan’ jika dibandingkan dengan lembaga formal yang dimiliki ormas lain. Padahal menurutnya, tak sedikit dari tokoh-tokoh NU yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi.
Hal tersebut mendapat tanggapan dari H Damanhuri. Ia mengatakan bahwa hal itu tidak seratus persen benar. Karena pada kenyataannya, sekarang NU telah banyak merambah ke dunia pendidikan formal, dan telah banyak pula para guru besar dan doktor yang lahir dari generasi NU.
Namun, ia juga mengatakan bahwa seolah-olah, itu sudah menjadi bagian dari ‘sono’nya. “Bagiane Mbah Dahlan iku gawe sekolah, kalo mbah Hasyim iku gawe pesantren (Bagiannya mbah Dahlan itu membangun sekolah, sedangkan mbah Hasyim itu membangun pesantren),” ujarnya dalam bahasa Jawa.
Ia juga tak menampik bahwa memang perlu kekuatan yang sedikit lebih besar untuk menyetarakan posisi lembaga formal NU dengan lembaga formal yang dimiliki ormas lain. “Untuk bersaing, memang kita sedikit harus terbirit-birit,” tandasnya di akhir sesi.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’