Buleleng, NU Online
Pegayaman adalah sebuah desa Muslim yang terletak di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali. Sembilan puluh persen dari total penduduk Pegayaman yang mencapai sekitar 6.700 warga adalah Muslim. Menjadi umat minoritas dalam skala regional (Bali), tidak membuat Muslim Pegayaman, risih, apalagi takut.
“Sebab, di sini budaya saling menghormati dijunjung tinggi. Diantara kami kerap saling berbagi,” tukas Bendahara Pimpinan Cabang (PC) Pergunu Buleleng, Ketut Muhammad Qosim sebagaimana rilis yang diterima NU Online, Jumat (31/5).
Namun posisi minoritas diakui Qasim juga ada positifnya. Yaitu terjaganya kebersamaan yang solid. Bahkan ketika di tempat lain, umat Islam mulai ‘kendur’ beribadah lantaran terbentur dengan kegiatan persiapan menghadapi lebaran, muslim di Pegayaman justru ‘solid’.
Di Pegayaman hanya terdapat sebuah masjid, namanya Safinatussalam. Dia adalah satu-satunya masjid di desa seluas 15,84 kilometer persegi itu. Di masjid itu pula, para lelaki melaksanakan shalat taraweh. Tidak seperti di tempat lain, di masjd itu shalat taraweh biasa dilaksanakan pukul 22.00 yang dilanjutkan dengan tadarus hingga menjelang imsak.
“Itu karena gantian dengan ibu-ibu untuk jaga rumah. Jadi para ibu hanya taraweh di mushalla-mushalla yang ada. Usai ibu-ibu shalat taraweh, gantian kaum lelaki yang berangkat ke masjid,” jelasnya.
Jalinan persudaraan antara Muslim Pegayaman den non Muslim di desa tetangga sangat kuat. Ketika lebaran tiba atau hari besar non Muslm tiba, kedua ‘suku’ itu saling berkirim makanan.
“Tradisi itu biasa disebut ngejot. Jadi kami dan mereka saling berkirim makanan,” lanjut Qosim yang juga Sekretaris BPD Pegayaman itu.
Kultur NU juga kuat, mewarnai sejumlah tradisi kehidupan sehari-hari di Pegayaman, termasuk aktifitas di sektor pertanian. Misalnya, dalam tradisi mapag toya (mengalirkan sumber air besar ke parit-parit untuk irigasi sawah), para petani Hindu melakukan ritual dengan cara khas agama mereka.
“Tapi kami di Pegayaman, melakukan mapag toya dengan membaca ramai-ramai abda’u (aqidatul awam), lalu bersantap makan ketupat,” jelas Qosim. (Red: Aryudi AR).