Daerah

26 Santri Korban Tsunami Aceh ke Jepang

Selasa, 7 Juni 2005 | 10:33 WIB

Banda Aceh, NU Online
Sebanyak 26 santri pondok pesantren (ponpes) Al-Falah, Kabupaten Aceh Besar, anak korban musibah gempa dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), akan berangkat ke Jepang untuk mengikuti "kemah musim panas" di negara matahari terbit itu.

Direktur pelaksanan Yayasan Abu Lam Ue, Suraiya Kamaruzzaman, Selasa, mengatakan keberangkatan santri anak yatim korban gempa dan tsunami Aceh itu untuk memenuhi undangan sebuah organisasi kemanusiaan, Ashinaga, Jepang.

<>

Dijelaskan, ke-26 santri anak korban bencana alam (13 laki-laki dan 13 perempuan) itu akan bertolak ke Jepang sekitar awal Agustus 2005.

"Dalam undangan disebutkan, selama sepekan mereka berada di Jepang, puluhan santri anak yatim Aceh itu akan berkumpul bersama-sama dengan anak-anak korban bencana alam dari negara-negara yang terkena dampak tsunami pada 26 Desember 2004," katanya.

Sebanyak 26 santri anak yatim korban bencana alam gempa dan tsunami juga akan melakukan kegiatan antara lain konperensi tentang masa depan anak."Umur santri yang orang tuanya sudah meninggal dalam gempa dan tsunami yang kita kirim ke Jepang itu berkisar antara 12 hingga 18 tahun," tambahnya.

Ashinaga adalah sebuah organisasi non Pemerintah yang bermarkas di Jepang yang lahir 1969. LSM itu memiliki program untuk membantu anak-anak yatim korban bencana alam, perang dan konflik di berbagai negara.

"Dalam konperensi organisasi Ashinaga ke-6 yang telah berlangsung pada Januari 2005 itu, anak-anak di Jepang menggalang dana untuk mengundang anak yatim dari sejumlah negara yang terkena  bencana alam gempa dan tsunami," katanya.

Setelah dana tersebut terkumpul, mereka berkeinginan untuk mengundang anak-anak korban gempa dan tsunami untuk berkunjung ke Jepang.

Dia menjelaskan, kemungkinan dalam pertemuan nanti, para anak-anak yatim dari berbagai negara itu ikut membahas dan berbagi cerita tentang tsunami di daerahnya masing-masing.

Katanya, minat anak-anak korban gempa dan tsunami untuk berangkat ke Jepang itu cukup tinggi, namun karena kuota yang diberikan terbatas maka dilakukan seleksi.   "Mereka kita seleksi hingga pengisian biodatanya. Yang kita berangkatkan ke Jepang itu memang dipilih secara teliti termasuk mereka yang memiliki kemampuan berpidato dalam bahasa Inggris," demikian Suraiya.(ant/mkf)


Terkait