Orang itu sudah aku kenal sebelumnya. Sore itu, aku kembali bertemu dengannya di Sekretariat Panitia Pengkaderan NU dan Banom di Sutoragan, Kemiri, Purworejo. Namanya Pak Mahsun. Lengkapnya adalah Dr Kiai Mahsun SAg MAg. Kami pun kemudian berdiskusi seputar NU dan problematika Indonesia. Selain sebagai dosen dan ketua tanfidziyah PCNU Kabupaten Magelang, kini ia juga dipercaya masyarakat memimpin pesantren serta ceramah kemana-mana.
Sampai malam, usai mengisi materi, kami diskusi hangat dengan ditemani tempe goreng, arem-arem, kopi dan rokok. Progres dan problem ke-NU-an menjadi bahasan pertama kami. Lalu dengan panjang lebar kami diskusi soal kepemimpinan nasional dan masa transisi Orde Baru menuju Reformasi. Setelah itu, ideologi komunis dan pengadilan “abal-abal” internasional di Belanda yang membela PKI atas kedok HAM di negeri yang dulu menjajah itu, menjadi topik hangat kami, sampai pukul 11.00 malam. Sampai di situ, aku mengeluh belum mendapatkan buku Benturan NU-PKI 1948-1965, terbitan sekaligus sikap resmi PBNU atas peristiwa berdarah yang mengerikan itu.
“Aku punya buku itu,” ungkapnya. “Berapa, Pak?”, sahutku. “Dua”, jawabnya. “Satu buat saya, Pak!”. “Boleh, asalkan kamu main ke rumah, nanti jam 23.30 saya pulang, ikutlah sekalian.” “Siap, Pak”jawabku dengan semangat.
Mobil meluncur dengan cepat, menembus kegelapan malam, menuju kota Magelang. Sampai di kediamannya, aku langsung dikasih buku itu. Kubaca selembar demi selembar, sampai kumandang adzan memecah kesunyian. Usai shalat berjamaah kembali kubaca, di sudut rumah samping pesantren yang baru akan di cor itu, sampai matahari tergelincir menghapus embun-embun dalam ujung daun-daun.
Usai shalat Subuh, Pak Mahsun membacakan Tafsir Shawy di beranda masjid kepada jamaahnya. Kemudian ia pindah ke ruang tamu rumahnya, membacakan kitab untuk santri-santrinya. Sambil membaca buku itu, sayup-sayup kudengar pengajian di pagi itu. Pak Mahsun membacakan pengakuan Imam Besar Ahmad Bin Hanbal (Imam Hambali): bahwa ia bisa seperti itu karena setiap kali menerima ilmu baru selalu mengucapkan Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah. Kemudian, Pak Mahsun mengajak santri-santrinya untuk meniru apa yang dialami oleh salah satu Imam Madzhab yang dianut NU itu. Para santri mencatat dan menyimak dengan seksama, sampai selesai.
Kemudian, ia memberi pengumuman: “Besok Ahad kita akan ada pengecoran. Jadi, tolong kabarkan kepada bapak-bapak kalian, yang bisa membantu agar membantu proses pengecoran. Yang kerja atau tidak bisa, tidak usah ikut tidak apa-apa.” Kemudian pertemuan diakhiri.
“Ayo, minum dan sarapan dulu, nanti langsung ke kantor PCNU, ada Pengajian Rutin Ahad Pagi,” ucap Pak Mahsun kepadaku. “Siap, Pak” sahutku, yang masih membaca buku putih Benturan NU-PKI itu. Pagi itu, aku sudah membaca hampir setengah dari tebal buku. Kami pun, minum dan makan sambil bercengkerama.
Perjalanan dimulai, menuju kantor NU Magelang. Sepanjang perjalanan, kami tak henti ngobrol berbagai hal, soal ilmu dan kehidupan.
Di depan kantor yang cukup megah bercat hijau itu, para Banser sudah sibuk mengatur lalu-lintas menyeberangkan para jamaah pengajian yang lalu lalang dijalan. Kami turun dari mobil. Kuantarkan Pak Mahsun memasuki Aula, lalu aku pergi untuk menyendiri ke lantai dua. Terdengar, gemuruh shalawat menggema menyambut Pak Mahsun. Kehadirannya begitu ditunggu oleh jamaahnya, warga Nahdliyyin yang menyambut pemimpinnya.
Ketika aku menyendiri itu, seorang Banser tua yang tadi bertugas di depan, menyambangiku: duduk di dekatku yang tengah larut dalam buku. Kemudian kami berkenalan dan terlibat dalam obrolan panjang. Ia mengaku sudah 30 tahun lebih menjadi Banser, dan masih aktif sampai hari ini, disaat kebanyakan temannya sudah pensiun dimakan usia atau meninggal dunia. Selain aktiv di Banser, ia adalah pensiunan perangkat desa: seorang kadus. Ia mengaku, menjadi Banser adalah kebanggaan, passion dan panggilan hati. Ia merasa ada sesuatu yang menenteramkan saat memakai seragam Banser: mengamankan pengajian orang NU, khususnya para kiai penerus risalah Kanjeng Nabi.
Ia juga bercerita pengalamannya dalam ambil bagian menjadi Pasukan Berani Mati ketika dulu almarhum KH Abdurrahman Wahid akan dilengserkan dari kursi Presiden oleh Amin Rais.
"Sebelumnya kami dilatih, digembleng dan di isi. Lalu, dengan bus kami diberangkatkan ke Jakarta. Kebanyakan, waktu itu adalah banser dari Kedu khususnya Magelang dan dari Kediri"ungkapnya sambil menerawang jauh kebelakang.
"Bagaimana perasaan njenengan, Pak? Apa benar-benar siap perang dan mati?"sahutku, yang salut dengan keberanian dan pertaruhan itu.
"Kami sam'an wa thoatan, siap sedia untuk NU dan para kiai, Mas. Apalagi waktu itu, suasana politik benar-benar panas, kami sudah siap dengan segala kemungkinan dan resiko. Rencanya, operasi akan dilakukan jam dua pagi sampai empat pagi: hanya dua jam dan bersih, setelah itu kami pergi. Kami sudah punya daftar siapa saja yang perlu "diamankan" dan ditindaklanjuti di dinihari itu. Namun, ketika kami sudah berkobar hatinya, siap perang, siap mati, Gus Dur menelfon Mbah Wongso yang saat itu menjadi Koordinator Pasukan Berani Mati. Sedikitnya, 3000 pasukan Banser di malam itu juga sedang bergerak di pantai utara dari Jawa Timur, menuju Jakarta. Dalam telfon, Gus Dur berbicara langsung kepada Mbah Wongso:
"Sudah, Mbah, jangan teruskan. Jangan sampai ada setetes darah pun terjatuh membasahi bumi pertiwi ini karena perang saudara. Di dunia ini tak ada jabatan yang layak diperjuangkan secara mati-matian"
Koordinator Banser yang gagah berani itu, seketika lemas, tak berdaya. Ia menangis. Yah, air matanya bercucuran dengan deras membasahi bajunya. Ia terharu, betapa luasnya hati seorang Gus Dur, melebihi luas samudera. Dikala pasukan dan pembelanya siap membela mati-matian untuknya, beliau malah mengalah, menghindari pertumpahan darah. Gus Dur pun keluar dari istana tidak dengan jas kebesaran, namun celana pendek dan kaos oblong; sebuah "penghinaan" atau peremehan Gus Dur atas kekuasaan. Juga, agar rivalnya menertawakannya, dingin hatinya, tidak marah dengan senyum sinis melihatnya keluar dari Istana.
Kemudian perbincangan terhenti, seiring dengan selesainya Pengajian Rutin Ahad Pagi di kantor PCNU Magelang yang ada di Jalan Magelang-Jogja itu. Sang Banser keluar, aku mengikuti dibelakangnya.
Jamaah yang rata-rata ibu-ibu itu, bagai lebah yang keluar dari sarangnya. Beberapa angkot telah menunggu diluar, menjaring kesempatan rizki tiba. Di depan jalan, kulihat seorang nenek kurus dengan dagangan di tas besarnya, berlari kedalam Aula. Setelah kuperhatikan, ternyata ia memasukkan uang ke kotak infaq. Tak lama berselang, ia kembali dan melayani para pembeli, yang semuanya para jamaah pengajian tadi. Kuperhatikan lagi, ternyata yang dijual oleh nenek dengan rok jarit batik dan baju Jawa serta kerudung lusuh itu, adalah remukan atau rontokan gorengan. Remukan gorengan itu dibungkus dalam plastik putih ukuran sedang. Meski “hanya” remukan yang ia dagangkan, usai pengajian para jamaah terlihat menyerbu. Mungkin sudah menjadi pelanggannya. Mungkin juga berkah berlipat atas uang infaq-sedekahnya.
Aku menjemput Pak Mahsun. Kamipun pergi menuju jalan raya, bersama dengan ribuan kendaraan-kendaraan yang meraung raung lainnya, ditengah panasnya kota.
"Tadi sebenarnya mau udahan ngajiannya. Namun, saya lihat ada ibu-ibu baru datang menjajakan jualannya. Ibu itu muter dan belum selesai. Saya teruskan saja pengajiannya, sambil menunggu ibu muda itu menawarkan dagangan dengan senyap kepada jamaah ditengah pengajian" Pak Mahsun membuka, sekaligus mengajariku salahsatu cara membantu sesama.
"Kita tidak langsung pulang dulu. Saya tadi diminta mampir di kediaman KH Nawawi, ia koordinator Pengajian Rutin Ahad Pagi ini", lanjutnya. "Siap, Pak" jawabku.
Kemudian kami sampai di kediaman KH Nawawi. Di depan rumahnya tertulis sebuah spanduk: “Pengajian Ahad Pagi Persaudaraan Jamaah Haji Srumbung Magelang”. Kami disilakan masuk. Aneka makanan dan minuman telah berderet manis di sana. Aku sungkem dengan kiai tua itu. Kemudian ia menyuruh kami makan, sebelum para jamaah haji yang berkumpul itu makan. “Kebetulan sekali, perutku sudah mulai keroncongan” gumamku dalam hati. Tanpa basa-basi, aku mengikuti langkah Pak Mahsun, menuju jamuan itu. Gurameh-gurameh besar tersaji, dengan aneka sayur, pecel dan tentunya nasi.
KH Nawawi memberikanku bungkusan plastik hitam berisi aneka makanan khas pribumi Jawa: peyek, klepon, agar-agar dan jajanan pasar. Sementara menunggu Pak Mahsun selesai ceramah, kubawa bungkusan itu ke mobil, sekalian ngadem di AC sambil menikmati lagu Iwan Fals.
Pengajian usai. Kami bergerak pulang. Aku hendak pamitan, untuk melanjutkan perjalanan menuju Tegal, mengisi Lakut, sebuah pengkaderan tingkat akhir di IPNU-IPPNU. Namun, Ibu dr Ma’shumah, istri Pak Mahsun, mencegahku dan mengajak untuk pergi bersama ke pusat buah durian. Aku tak kuasa dan tak dapat menyia-nyiakan kesempatan.
Bersama keluarga Pak Mahsun, aku pergi ke sebuah desa di Lereng Gunung Merapi. Di dalam sebuah rumah sedrhana itu, berjejer durian yang siap untuk dinikmati. Sang tuan rumah dengan penuh kejutan datang dari dalam, membawa lima durian sebesar helm SNI. Kami menikmatinya, memakan hasil bumi yang kemungkinan besar ditanam oleh orang tua penjualnya.
Usai pesta kecil-kecilan itu, kami pun pulang, membawa dua kardus durian. Dua kardus itu adalah hadiah yang disediakan oleh Ibu dr Ma’shumah untuk menjamu para teman lamanya semasa SMA, yang akan reunian di rumahnya. Sampai di Terminal Magelang, aku pamit turun untuk melanjutkan perjalanan, dengan tidak lupa mengucap terima kasih kepada kiai pakar ushul fiqh yang begitu baik, cerdas dan penuh perhatian itu. Akupun melanjutkan perjalanan, sambil meneteng buku yang bisa membenarkan kesalahpahaman orang dan bahkan kader muda NU sendiri, yang agak dan sok ke kiri-kirian itu.