Nasional

Pembangunan Kota Jakarta Kikis Budaya Betawi

Sab, 27 April 2024 | 11:15 WIB

Pembangunan Kota Jakarta Kikis Budaya Betawi

Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra pada Konferensi Pers pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (26/4/2024) siang. (Foto: Syakir NF/NU Online)

Jakarta, NU Online
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menyampaikan bahwa pembangunan Jakarta tidak beriringan bahkan mengikis kebudayaan yang ada. Hal tersebut disampaikan dalam Konferensi Pers pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (26/4/2024) siang.


"Pembangunan Jakarta selama ini telah 'memutilasi kota' dan memperlakukan warga lokal secara sembrono," kata Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta itu.


Melengkapinya, ia mencontohkan pembangunan Pondok Indah di bilangan Jakarta Selatan itu disertai dengan hilangnya kuliner lepet dan asinan yang disebutnya paling enak. Pun kawasan segitiga emas yang dikenal dengan pengrajin sepatu hingga batik juga tidak lagi ditemukan seiring dengan adanya pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang kini terdapat di Jalan Gatot Subroto, Sudirman, MH Thamrin, dan Rasuna Said.


Upaya pemerintah, baik Orde Lama maupun Orde Baru, tidaklah memberikan dampak berarti terhadap perawatan kebudayaan Jakarta. Berbagai peraturan daerah (Perda) dan produk kebijakan lainnya tidak tampak pengaruhnya.


"Kehadiran pemerintah di tengah kita ibarat engkong giginya ompong, tidak ada gunanya sama sekali," kata penulis buku Siklus Betawi: Upacara dan Adat Istiadat itu.


Keterlibatan semua pihak tentukan kebertahanan kampung Betawi

Meskipun demikian, Jakarta memiliki wilayah khusus yang menjadi tonggak dan benteng terakhir dalam menjaga kebudayaan Betawi, yakni Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Hal tersebut didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2005.


Yahya menilai bahwa kampung tersebut dapat bertahan dengan keterlibatan berbagai pihak. 


"Kebertahanan itu tentu saja karena keterlibatan dari semua pihak. Jadi pilar dari gubernur, wakil rakyat, kemudian para pengambil keamanan dan kebijakan," kata penulis buku Upacara Daur Hidup Adat Betawi itu.


Sebagaimana termaktub dalam Perda Nomor 3 Tahun 2005, Kampung Betawi ini ditujukkan empat hal. Pertama, membina dan melindungi tata kehidupan dan nilai-nilai budaya Betawi. Kedua, menciptakan dan menumbuhkembangkakn nilai seni budaya Betawi sesuai dengan akar budayanya. Ketiga, menata dan memanfaatkan potensi lingkungan fisik, baik alami maupun buatan yang bernuansa Betawi. Terakhir, mengendalikan pemanfaatan lingkungan fisik dan non fisik sehingga saling bersinergi untuk mempertahankan ciri khas Betawi.


Selain itu, berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2005, pendirian Kampung Betawi ini memiliki enam fungsi, yakni (1) sarana permukiman; (2) sarana ibadah; (3) saran informasi; (4) sarana seni budaya; (5) sarana pendidikan, penelitian, pelestarian, dan pengembangan; serta (6) sarana pariwisata.